Mohon tunggu...
Tommy Setiawan
Tommy Setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

Hanya pembaca dan pemerhati. Bukan penulis. Tapi kadang-kadang menuangkan pikiran atau ide atau perasaan yang bergejolak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orangtua Penipu di Tahun Ajaran Baru

22 Juli 2015   16:28 Diperbarui: 22 Juli 2015   16:28 37790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - uang pangkal sekolah (Kompas.com)

Tanggal 22 Juli 2015 adalah hari pertama masuk siswa sekolah swasta. Sedangkan sekolah negeri baru dimulai pada hari Senin, 27 Juli 2015 mendatang.

Di sekolah swasta, saya melihat pemandangan yang luar biasa hebat. Di lapangan parkir berjejer mobil-mobil para orangtua siswa yang mengantar anaknya yang baru pertama kali masuk sekolah atau memulai ajaran baru di kelas yang baru. Mobil dari berbagai merek dari merek biasa sampai yang wah ditemui di halaman parkir sekolah yang tidak begitu luas. Mereka adalah para penipu! Penipu dalam arti yang sebenarnya tapi bukan dalam arti kriminal.

Bagaimana tidak dikatakan penipu? Sekolah swasta adalah sekolah yang “dibiayai” oleh para orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Berbeda dengan sekolah negeri yang dibiayai seluruhnya oleh pemerintah dan anak yang bersekolah di sekolah negeri hanya datang, duduk manis mendengarkan pelajaran dari gurunya selama 6 tahun (SD) dan 3 tahun (SMP, dan SMA) tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.

Proses penerimaan siswa baru di sekolah swasta didominasi dengan metode “wawancara” antara guru dan orangtua siswa. UUD, ujung-ujungnya duit. Setelah proses tawar menawar, hingga mencapai kata sepakat soal “harga”, maka di situlah siswa diterima. Harga yang disepakati meliputi uang sekolah (SPP) dan uang pangkal (Biaya pembangunan).

Nah di proses wawancara inilah aksi tipu-tipu para orangtua siswa berlangsung.

Saat datang ke sekolah, para orangtua bersandiwara menjadi “orang miskin”. Mengenakan celana pendek, kadang-kadang bersendal jepit, berkaos oblong. Berdalih bekerja sebagai karyawan biasa dengan gaji pas-pasan, dengan nada memelas memohon dikasihani agar diberi keringanan mendapat uang sekolah semurah mungkin.

Padahal... semuanya adalah kebohongan. Mereka sebenarnya adalah pengusaha, pedagang, karyawan kantor dengan jabatan tinggi dan bergaji besar, memiliki kendaraan roda empat lebih dari satu, rumah mentereng. Namun saat wawancara siswa baru, mereka sembunyikan keaslian mereka. Mereka tonjolkan kepalsuan mereka.

Miris! Dan berdosalah mereka jika melakukan hal tersebut!

Bayangkan, di sekolah swasta tertentu tidak semua siswanya berasal dari keluarga kaya. Ada yang berasal dari keluarga biasa, bahkan keluarga miskin namun ingin bersekolah di sekolah swasta (tergantung persepsi orangtua tentang sekolah swasta). Ada subsidi silang bagi keluarga tidak mampu, yaitu dimana uang sekolah yang nilainya besar, disubsidi silang pada uang sekolah yang nilainya kecil, agar mendapatkan nilai kelayakan.

Justru orangtua yang memang kaya harus bersyukur mendapat “karunia” menjadi orang kaya, dengan bersedia membayar mahal uang sekolah anaknya, demi bisa mensubsidi uang sekolah sesamanya yang kurang atau tidak mampu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun