Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kemiskinan 1 Digit, Kok Masih Dibilang Negara Miskin?

16 Mei 2020   16:15 Diperbarui: 17 Mei 2020   05:32 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak kecil bermain di tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (19/10/2010). Tumpukan sampah yang masuk TPA termasuk sampah dari DKI Jakarta sebanyak 6.000 ton per hari (KOMPAS / LUCKY PRANSISKA)

Tergantung kita mau lihat dari sudut pandang mana. Mau liat dari atas menara atau justru dari lembah tak bertuan. Silakan saja. Kita pilih posisi mana yang wenak. Satu hal, posisi dan sudut pandang yang berbeda dalam menilai sesuatu, akan menghasilkan kesimpulan yang niscaya tak sama.

Politikus dan ekonom akan punya cara pandang berbeda soal wabah. Pakar kesehatan juga punya pendapat sendiri. Kita rakyat jelata ini, pastinya juga punya pendapat receh. Semua orang punya pandangannya masing-masing dan amat mungkin bervariasi. 

Perbedaan latar belakang, beda keilmuan, beda tujuan, beda jabatan, yah tadi beda posisi dan sudut pandang menjadi sebab perbedaan. Tak soal. Selagi itu bukan hoax dan bukan ujaran kebencian. Dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat adalah ruhnya.

Kembali soal miskin 1 digit. Apakah dengan menyisakan miskin 9,22 persen lalu kemudian kita bisa disebut maju? Yah... bisa saja memang. Bisa saja disebut demikian. Kita memang maju dalam hal mengurangi tingkat kemiskinan antarwaktu.

Tapi perlu dicatat, bukan berarti serta-merta kita bisa menyebut diri kita negara maju (sejahtera); negara dengan GDP Perkapita sekitar US$ 12rb. Belum. GDP Perkapita kita masih 1/3-nya. Bahkan hanya 1/10 dari GDP Perkapita negara maju. Tidak semudah itu Ferguso!.

Untuk diketahui, metode hitung kemiskinan yang saat ini kita pakai, masih memakai pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach). Metode ini memang direkomendasikan bagi negara-negara berkembang sebab dirasa paling tepat untuk mengukur kemiskinan di negara ber-flower.

Di mana mayoritas masyarakatnya berada pada golongan menengah ke bawah, yang masih banyak diantaranya kesulitan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Sehingga, angka kmeiskinan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan suatu kondisi kemiskinan yang sesungguhnya (the lowest).

Pada metode ini, kebutuhan dasar untuk hidup dikuantifikasi ke dalam sejumlah uang. Katakanlah untuk bertahan hidup sebulan, seseorang butuh beras sekian kilo, air minum sekian, lauk sekian, sewa rumah sekian, listrik sekian, pdam sekian dst.

Lalu, jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli/membayar kebutuhan dasar sebulan ini kemudian disebut Garis Kemiskinan (GK). Kalau ada seseorang yang pengeluarannya di bawah GK disebut penduduk miskin!

Nah, dari metode hitung yang kita pakai saja, kita ini masih tergolong negara berkembang. Bukan negara maju. Belum. Emang kalau negara maju pakai metode apa? Mayoritas negara maju menggunakan ukuran relatif. Tidak memakai metode kebutuhan dasar seperti kita (absolut). 

Kalau pakai metode yang sama dengan kita, bisa jadi gak ada lagi penduduk miskin di negara maju. Pasalnya, semiskin-miskinnya mereka di negara maju, pendapatan mereka sudah cukup tinggi untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup dasar (GK).

Okelah. Kita bangga bahwa tren kemiskinan kita cenderung menurun antarwaktu. Setidaknya, program yang dijalankan selama ini, ada dampaknya. Terukur hasilnya. Kendati membutuhkan 70 tahun lebih sejak merdeka untuk sampai ke sini.

Namun demikian, tetep saja, rendahnya kemiskinan absolut nasional ini belum menandakan kita negara maju. Terlebih lagi, kalau kita lihat secara spasial, ada kesenjangan yang menganga antardaerah. Terutama antara barat dan timur.

Apa artinya? PR kita masih menumpuk. Ketimpangan pendapatan masih terjadi. Pemerataan pembangunan belum terealisasi dengan baik.

Katakanlah kita berhasil menurunkan kemiskinan antarwaktu, bagaimana bila dibandingkan antarnegara? Apa gunanya kalau kita bergerak 60km/jam sementara negara lain 80 sampai 100km/jam. Kita akan tetap tertinggal. Akan dibelakang terus.

Dan selamanya kita akan disebut negara ber-flower. Tak pernah lepas landas. Terperangkap ke dalam middle income trap. Meski saya sedikit ragu kalau kita sudah pada level middle income. Saya lebih setuju kalau kita masih pada posisi aspire middle income (menjelang middle income).

Inilah yang kemudian jadi pemikiran bersama, bagaimana supaya tren kemiskinan antarwaktu menurun, disisi lain waktu yang diperlukan tak terlalu lama. Sehingga, suatu saat (jangan lama-lama) kita dapat menyusul Jepang atau Singapura. Bisakah?

Berat memang, tapi bukan tak bisa. Ekonom pasti tau caranya. Teknokrat di pemerintahan pasti amat fasih mengatasinya. Harusnya! Tapi memang masih belum terlihat jelas hasilnya.

Ekonomi tumbuh stagnan 5 persenan. Utang juga tumbuh. BUMN belum optimal bantu pemasukan. Realisasi pajak engap-engapan. Kompleks masalahnya. Banyak tantangannya.

Akan tetapi, in my opinion, korupsi dan kepentingan golongan adalah hambatan paling besar mengapa negara kaya kita ini tak pernah maju.

Kondisi ini menyangkut lemahnya penegakan hukum kita. Instrumen hukumnya banyak, tapi penegakannya masih jauh dari semestinya. Kongkalikongnya jalan terus.

Belum juga kita temukan sebab pastinya, datanglah hari ini, dimana corona membuka mata kita. Bahwa negara kita masih harus berupaya keras untuk dapat label maju yang sesungguhnya. Bukan hanya maju dari sisi ekonomi yang ditandai dengan rendahnya kemiskinan, pengangguran terkendali, GDP Perkapita tinggi, stabilitas nilai tukar tetapi juga maju dari sisi kepemimpinan.

Kita saat ini krisis kepemimpinan, minim panutan. Kita butuh ksatria. Kita butuh negarawan untuk membenahi semua persoalan bangsa.

Pasalnya, negara maju saja tanpa kepemimpinan yang kuat, bisa babak belur dengan corona: Amerika. Negara berkembang bila kempemimpinannya bagus, corona bisa dibendung: Vietnam. Lalu, kita di mana? Ke mana?

Singkatnya, 1 digit tersisa tak menandakan kita negara maju. Belum. Jika tak terima disebut negara miskin, anggap saja negara kurang mampu.

Optimis boleh, tapi terukur. Pesimis jangan, tapi harus realistis. Masih banyak yang harus dibenahi. Pasca pandemi, tentu akan lebih sulit lagi. Tantangannya berlipat ganda.

Tapi dengan kepemimpinan yang kuat, semua akan dilalui. Rakyat pasti mendukung jika kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk kemaslahatan bersama, untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Rasional dan terjelaskan. Bebas unsur politis dan pencitraan, terutama pada masa-masa pandemi ini. Kita bisa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun