Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kemiskinan 1 Digit, Kok Masih Dibilang Negara Miskin?

16 Mei 2020   16:15 Diperbarui: 17 Mei 2020   05:32 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak kecil bermain di tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (19/10/2010). Tumpukan sampah yang masuk TPA termasuk sampah dari DKI Jakarta sebanyak 6.000 ton per hari (KOMPAS / LUCKY PRANSISKA)

Okelah. Kita bangga bahwa tren kemiskinan kita cenderung menurun antarwaktu. Setidaknya, program yang dijalankan selama ini, ada dampaknya. Terukur hasilnya. Kendati membutuhkan 70 tahun lebih sejak merdeka untuk sampai ke sini.

Namun demikian, tetep saja, rendahnya kemiskinan absolut nasional ini belum menandakan kita negara maju. Terlebih lagi, kalau kita lihat secara spasial, ada kesenjangan yang menganga antardaerah. Terutama antara barat dan timur.

Apa artinya? PR kita masih menumpuk. Ketimpangan pendapatan masih terjadi. Pemerataan pembangunan belum terealisasi dengan baik.

Katakanlah kita berhasil menurunkan kemiskinan antarwaktu, bagaimana bila dibandingkan antarnegara? Apa gunanya kalau kita bergerak 60km/jam sementara negara lain 80 sampai 100km/jam. Kita akan tetap tertinggal. Akan dibelakang terus.

Dan selamanya kita akan disebut negara ber-flower. Tak pernah lepas landas. Terperangkap ke dalam middle income trap. Meski saya sedikit ragu kalau kita sudah pada level middle income. Saya lebih setuju kalau kita masih pada posisi aspire middle income (menjelang middle income).

Inilah yang kemudian jadi pemikiran bersama, bagaimana supaya tren kemiskinan antarwaktu menurun, disisi lain waktu yang diperlukan tak terlalu lama. Sehingga, suatu saat (jangan lama-lama) kita dapat menyusul Jepang atau Singapura. Bisakah?

Berat memang, tapi bukan tak bisa. Ekonom pasti tau caranya. Teknokrat di pemerintahan pasti amat fasih mengatasinya. Harusnya! Tapi memang masih belum terlihat jelas hasilnya.

Ekonomi tumbuh stagnan 5 persenan. Utang juga tumbuh. BUMN belum optimal bantu pemasukan. Realisasi pajak engap-engapan. Kompleks masalahnya. Banyak tantangannya.

Akan tetapi, in my opinion, korupsi dan kepentingan golongan adalah hambatan paling besar mengapa negara kaya kita ini tak pernah maju.

Kondisi ini menyangkut lemahnya penegakan hukum kita. Instrumen hukumnya banyak, tapi penegakannya masih jauh dari semestinya. Kongkalikongnya jalan terus.

Belum juga kita temukan sebab pastinya, datanglah hari ini, dimana corona membuka mata kita. Bahwa negara kita masih harus berupaya keras untuk dapat label maju yang sesungguhnya. Bukan hanya maju dari sisi ekonomi yang ditandai dengan rendahnya kemiskinan, pengangguran terkendali, GDP Perkapita tinggi, stabilitas nilai tukar tetapi juga maju dari sisi kepemimpinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun