Belum lama ini ia pun ikut datang ke Kelantan dalam memverifikasi kasus TKW Wilfrida. Kendati ada tokoh lain yang berbuat untuk Wilfrida, Iwan tak segan-segan mereportase hingga ke desa, kampong Halaman Wilfrida di NTT.
Sebelum 2003, Iwan menulis untuk Majalah Pantau, kajian media dan jurnalisme, pernah diterbitkan Komunitas Utan Kayu. Kala itu ia pernah didaulat beberapa wartawan senior Tempo, pendiri PWI Reformasi yang diwakili Alm Budiman S Hartoyo, menjadi Ketua Umum. Namun setelah setahun jabatan itu ia tinggalkan. “Di banyak daerah belum siap wartawan direformasi. Budaya amplop masih 98%, elemen jurnalisme tak ditegakkan,” katanya. Atas dasar itulah ia melakukan gerakan indie membangun jaringan jurnalis warga bertajuk Presstalk. Ia sering membagi pengetahun ihwal menulis. Belakangan pengetahuan itu, lewat Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Iwan diminta mengajar menulis di Puspen Mabes TNI, Paspamres.
Sebelumnya ia pernah pula bekerja di Bhinneka.com, sebagai Creative Director. Sepengetahuan saya Iwan ikut mengantarkan bhinneka menjadi e-commerce terbaik di Indonesia, pernah masuk dua kali ke dalam Enterprise 50 Accenture - - perusahaan UKM 50 terbaik. Simak link di bhinneka ini http://www.bhinneka.com/aspx/backstage/oth_backstage_pentas1.aspx Juga desain back stage sebelumnya sejak 1999. Bagi Iwan pengalaman di bhinneka itu memberi wawasan baginya memahami lebih jauh soal seluk beluk IT, hingga ke forensic digital. Pada penghujung 2013 lalu ia bersama 4 orang TIM dari ITB, melakukan forensic digital terhadap pembobolan data di sebuah perusahan tambang batubara raksasa. Perusahaan itu sudah membayar mahal asing, bahkan mantan agen dari MI16. Namun tim dibangun Iwan Piliang lebih sukses.
Ketika saya bermasalah dan mencoba malakukan perlawanan terhadap perampokan pulsa, Iwan yang kini berlatar pendidikan Komunikasi Massa dan Hukum itu, membatu saya melakukan advokasi. Ia sangat gemas mendengar keterangan pihak oknum pejabat di salah satu operator selular menyebutkan jangan diteruskan laporan kasus saya ini, karena mereka sudah memberi polisi Susu Tante (Sumbangan Sukarela Tanpa Tekanan)
Iwan lalu sesumbar kepada saya, ”Bila saya Menteri Kominfo, sosok pertama di operator yang saya cari adalah pejabat di operator itu untuk ditempeleng.” Saya katakan ke Iwan, menempeleng orang pidana.
“Biarin. Ucapannya memporak porandakan hukum dan keadilan, “ kata Iwan. Sikap vulgar Iwan itu juga pernah mengkuatirkan saya. Di media sosial ia pernah mengajak Kapolri melakukan rolet Rusia. Ia sesumbar akan kebenaran yang ia yakini.
Kepada saya Iwan menuturkan ihwal pencolengan pulsa itu sudah lama ia amati sejak menjabat Ketua Pokja Konten dan Aplikasi di Kadin Indonesia. Jabatan itu ia peroleh setelah sejak lama mendirikan AINAKI, Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia. Sejak 1989 hingga 1996 Iwan memang berbisnis. Dari jasa komunikasi hingga memproduksi serial animasi. Melalui bendara PT Potlot Nasional, Iwan sosok pertama yang membuat serial wayang 2D, bertajuk Burisrawa. Sayang karena tiadanya dukungan venture capital serial itu baru bisa diproduksi 6 x 24 menit, seharusnya 52 x 24 menit, agar bisa dipasarkan global.
Dua tahun sebelum kerusahan 1998, ia bekerja di HVQ, sebuah rumah paska produksi high end, sehingga mematangkannya memahami dunia produksi film, terutama iklan yang diproduksi dengan bahan film 35 mm. Maka Iwan adalah sosok paling prihatin ketika kini Pusat Perfilman Negara (PPFN) mangkrak. Menurut Iwan PPFN dulu kuat, mengirim banyak sosok belajar animasi ke luar negeri, menjanjikan pada suatu masa kita akan menjadi produsen konten hebat. “Ibarat industri mobil nasional seperti Perkasa Engineering, PPFN juga dibunuh,” ujarnya.
Selanjutnya ketika nama Iwan dikenal karena Skype Nazarudin, dan di awal ia mengalami bully di media sosial, saya yang mengikuti karirnya prihatin. Prihatin akan ketidak-pahaman orang yang hanya tahu dari satu Skype itu saja tentangnya. Sebagai jurnalis, pendidikannya memang di komunikasi massa. Ia sudah bergabung sebagai stringer untuk majalah Zaman, grup Tempo, 1984, saat transisi akan diubah ke majalah Matra. Selanjutnya 1986 ia hijrah ke SWA karena lebih senang ekonomi. Kala itu idealisme pers menurutnya tak bisa berwujud ia memilih berbisnis. Lalu era reformasi, tantangan jurnalisme diduga Iwan mendapatkan muara. Karena itulah ia kembali sejak ada majalah Pantau yang kemudian tutup, dan diteruskannya ke online itu. Kini menurutnya kebebasan pers bebas sekaligus terjun bebas. Banyak di daerah koran ia dapati menjual dan mengontrakkan halaman redaksi ke Pemda hingga Rp 800 juta perhalaman. Iwan prihatin. “Rusak berbagai tatanan, boro-boro lahir kekuatan keempat dalam demokrasi,” katanya.
Bagi satu dua yang pem-bully-nya di media sosial, saya menjamin bahwa figur ini tak pernah diketahui telah menjadi editor buku ESQ-nya Ary Ginanjar. Sosok Ary, kala 1996, adalah Wakil Ketua Bidang di bawah dirinya yang menjadi Ketua Kompartemen Litbang, HIPMI DKI Jaya, yang ketuanya saat itu dijabat M. Lutfi, kini Menteri Perdagangan. Banyak masukan diberikan Iwan terhadap Ary, termasuk membuat animasi Nebula, tak terkecuali ihwal pola pelatihan motivasi. Sebelumnya Iwan bersama Edward Linggar (Alm) pernah bersama menyelenggarakan New Born Seminar yang dikelola oleh Edward.
Tak terasa teh di cangkir saya di suatu malam pekan lalu itu habis. Sebaliknya menggali berbagai persoalan dari sosoknya tiada habis. Dari seorang kawannya Reginald Engelen, sealmamater dengannya di SMA 3 Jakarta, “Jika terbentur di satu masalah, usaha, ia akan mencoba pindah ke berikutnya, ibarat air mengalir. Karenanya banyak hal yang digarapnya,” tutur Raldi.