Mohon tunggu...
Tommy Diansyah
Tommy Diansyah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Lebih Dekat Iwan Piliang

14 April 2014   11:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Minum teh di sawung berlantai kayu besi, menyantap rebus pisang, di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Tuan rumah Narliswandi Piliang, lebih dikenal Iwan Piliang, 50 tahun, lekat di ingatan saya kini saban pagi di media sosial menghimbau menjauhi makan mie instan, mengajak kembali ke pisang rebus, makanan berbahan pangan local, produksi petani sendiri.

“Tahun lalu impor gandum kita telah mendekati angka 10 juta ton,” kata Iwan.

Ia hormat kepada satu dua individu menjauhi pangan berbahan impor. Iwan menyebut contoh, Suhardi, Ketua Umum Partai Gerindra sudah lebih 25 tahun tidak mengkonsumsi bahan pangan gandum.

“Subtitusi gandum bisa dibuat dari bahan singkong. Kini sudah ada singkong gajah temuan Profesor Ristono, bisa diolah menjadi tepung dengan memodifikasi memfermentasi menghasilkan Mocaf, berkualitas di atas gandum,” tutur Iwan. Saya jadi teringat pernah membaca tulisannya di blog disebarkan ke media sosial ihwal sosok Ristono, seorang profesor tekun meriset singkong, hingga jatuh stroke akibat persingkongan.

Iwan mengaku tidak habis pikir, mengapa kini negara kita kian tinggi saja impor bahan pangannya? Termasuk garam. “Jangan-jangan ke depan kita akan mengimpor singkong, petai dan kelapa,” tuturnya tertawa, dan menuturkan lagi, “Negeri ini di mana nyiur melambai, seharusnya.”

Setiap bertemu Iwan, saya seakan menjumpai oase kekayaan pengetahuan. Ia dapat bertutur tentang apa saja dalam, bukan sekadar cerita. Ia melakukan kegiatan nyata akan apa diperbuatnya. Untuk DKI Jakarta misalnya. Sejak Joko Widodo gubernur DKI Jakarta - - sosoknya sudah menulis Jokowi sejak dari Walikota Solo - - itu, melakukan gerakan Bangun Gotong Jakarta (Bangrojak). Melalui Bangrojak Iwan menghimpun kegiatan swadaya warga, bergotong royong setiap Jumat membersihkan got, mengalirkan air. “Karena surga di mana air mengalir,” katanya.

Tak cukup hanya urusan mengalirkan air di got dan comberan itu, bersama Bangrojak Iwan melakukan riset akan penyapuan jalan di DKI Jakarta, hingga ke pembuangan akhir ke Bantar Gebang. Apa hasil? Kepada publik ia menulis di blog, bahwa lebih dari 3.000 ton sampah digelembungkan sehari. Angka mark up itu bertemali penguapan APBD DKI Jakarta sekitar 3.000 x Rp 400 ribu lbh dalam sehari. Dalam sesi habis gowes di Balai Kota DKI, kepada Ishadi, Pimpinan Trans TV, Jokowi pernah menyampaikan secara informal kalau Iwan Piliang paham betul soal sampah di Jakarta.

Maka dari jauh saya amati dan mendengar, kedekatan Iwan dengan Jokowi itu itu satu dua kalangan wartawan di Balai Kota, kurang menyenangi. Saya tak tahu apa alasan mereka, kuat dugaan saya, beberapa wartawan muda tidak bisa mendapatkan momen eksklusif bersama Jokowi, sebaliknya Iwan memperoleh mudah lalu hanya memuat di blog warga di Kompasiana.com secara free.
Sebutlah contohnya bagaimana Iwan ikut dalam blusukan ke kali Cisadane. Iwan ikut bersama rombongan, lantas menuliskan secara deskriptif naratif. Bila membaca tulisannya kita akan merasakan ikut dalam liputannya. Merasa seakan dilokasi, terasa apa yang dirasakannya.

Maka ketika saya konfirmasikan ke Iwan akan suara miring menerpanya itu ia balik bertanya, “Semua orang ingin dekat Jokowi, tak terkecuali wartawan. Namun saya mendekat di mana ada liputan usulan saya. Di luar itu saya menjauh. Salahkah? ” tanyanya.

Menuliskan sosok Iwan bagi saya menulis sesuatu yang basah. Tulisan tak akan kering. Sebutlah perjuangannya di urusan sosial, sejak 2003 ia mengatakan hijrah menulis menjadi jurnalis warga, kegiatan sosial baginya. Pada 2009 lalu ia gigih memverifikasi kasus pembunuhan anak Indonesia David Hartanto Wijaya di Singapura. Semua persidangan Coroner kasus David hampir semua diikuti Iwan, sampai-sampai ia harus rela tidur di bandara Changi, di Backpack hotel, demi menghemat biaya, agar verifikasinya bisa dibaca publik terbatas di blog dan media sosial. Maka di kalangan terbatas pula ia kemudian dikenal sebagai Blogger dan Aktifis media sosial. Semua liputan itu ia biayai sendiri.

Bukan hanya David diverifikasinya. Ia pun menulis soal Aries, seorang mahasiswa juga dibunuh di Singapura. Konon Aries diduga terkait ke urusan perdagangan organ. Kasus orang hilang 17 orang dalam perjalanan dari Serui ke Maberamo Raya, Papua pada 3 Mareta 2009, hingga kini masih menjadi verifikasi utamanya. “Kasus itu sejatinya bak melihat ikan di kedalaman samudera bening, tampak warnanya,” katanya. Namun, menurut Iwan, indikasi ada pejabat terindikasi psikopat, bergelimang uang di alam otonomi khusus dan dana Otsus Papua, lalu kebenaran mereka porak porandakan demi kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun