Saya telah lama mendengar nama Bapak Rocky Gerung. Ia salah seorang dosen filsafat di Universitas Indonesia. Ya, itu sudah saya ketahui sejak puluhan tahun silam ketika saya masih sering modar mandir ke rumah tente saya di Depok. Hanya saja nama itu menjadi unik ketika saya menemukan akunnya di twitter, dimana ia salah satu pemikir filsafat yang sering menyampaikan twit-twit yang bersifat metafora.Â
Ia dengan cerdas menggunakan kata kolam butek, kecebong, ikan dsb untuk membiarkan para followernya menafsirkan dengan liar. Tidak jarang ia mengambil posisi sebagai pengkritik pemerintah, dan seketika ia dibully habis-habisan. Saya juga menemukan, tanpa sengaja, sebuah video dimana sepupu saya yang tengah mewawancarainya untuk jurnal perempuan dan berbicara tentang laki-laki feminis.
Namun sosok ini juga mendadak mengelitik pikiran saya melalui komentar-komentarnya. Saya suatu kali menemukan video cuplikan ILC dimana sang pemikir diminta pendapatnya tentang hoax. Ia lalu mengatakan bahwa sesungguhnya pemerintahlah pelaku hoax yang sejati. Mengapa? Karena ia memiliki segalanya. Media. Dana.
Lalu pada ILC lainnya yang membahas soal Saracen, sang "filsuf" mengkritik upaya indoktrinansi pemerintah. Hoax itu tumbuh sumbur dalam masyarakat yang tidak kritis dan daya pikirnya lemah. Menurutnya hoax itu perlu diberikan tempat untuk mendorong masyarakat berpikir kritis melalui budaya literasi.
Ok, dari segi argumentasi, saya harus akui Bapak Rocky mampu membangun pendapatnya dengan baik. Well, itulah salah satu kelebihan para pemikir filsafat, berpikir didasarkan nalar. Alur pikirnya sistematis dan pendapatnya sangat masuk akal.
Pendapatnya sekilas mengingatkan saya akan sosok Jurgen Habermas, filsuf Jerman, yang memimpikan suatu masyarakat demokratis dimana masyarakat bisa saling bertukar perspektif. Melalui aksi komunikasi dalam relasi subjek dengan subjek hubungan saling pengertian dapat tercapai. Mengutip pemikiran dialektis, bahwa sejarah adalah proses dari pembenturan pemikiran, ide untuk mencapai diskursus. Dimana sejarah merupakan sebuah proses menjadi.
Sehingga dengan demikian orang yang menyebarkan hoax harus dipahami adalah sebuah bagian dari proses. Dimana ada komponen masyarakat tertentu  tengah belajar merefleksikan diri. Diharapkan melalui proses dialogis lebih lanjut kesepahamanpun terbangun dan peradaban bergerak ke arah konsolidatif.
Saya tidak tahu apakah pemahaman demikian bisa menggambarkan sisi lain dari Bapak Rocky. Saya juga tidak pernah mengetahui pasti apakah pemikiran Jurgen Habermas memberikan pengaruh kepada Bapak Rocky. Dan saya tidak memiliki kapasitas mengkritik pemikiran sang pakar, ketika saya hanya seorang praktisi di bidang pertanian.
Hanya kecenderungan dan fenomena yang terjadi beberapa bulan belakangan ini membuat saya bertanya-tanya tentang keberadaan hoaxker. Tentang seberapa bermanfaatnya kehadiran mereka bagi bangsa ini.
Sebagai seorang minoritas di Indonesia, membaca berita provokatif dan kabar-kabar yang tidak jelas kadang membuat saya gerah. Sejumlah berita beredar tentang adanya upaya kaum minoritas untuk mendeskritkan kaum mayoritas. Apalagi pasca perturangan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Informasi sempalan seperti seperti itu beredar bebas di media sosial dan kabar buruknya menjadi viral. Lalu di tulisan itu tidak jarang menjadi perdebatan dengan pendapat-pendapat yang kadang sangat kasar, tidak cerdas.
Lalu saya teringat pada tahun 2000 saat saya masih kuliah di Intitute Pertanian Bogor. Sebuah organisasi kemahasiswaan tertentu sengaja menempelkan tulisan di mading yang berisikan kabar menyedihkan dari Ambon. Di situ dipampangnya tubuh para korban pembantaian yang telah membujur dari kelompok masyarakat dari agama tertentu. Tidak lama kemudian beredar selebaran mengajak mahasiswa untuk melakukan tugas melakukan perang suci untuk membela saudaranya di Ambon.
Beberapa minggu berselang salah satu rekan saya kemudian datang ke kampus dengan pakaian jubah panjang dan sorban. Ia hadir untuk mengucapkan salah perpisahan kepada kawan-kawannya karena ia akan menunaikan tugas sucinya. Ia akan pergi ke Ambon. Saya memandanginya dari kejauhan dengan merasa cemas, karena orang-orang yang beragama dengan saya di Ambon yang akan menjadi targetnya kemudian.
Faktanya konflik yang terjadi di Ambon tidak sepenuhnya berawal dari pertikaian antar umat beragama. Sementara yang menjadi korban tidak hanya dari agama tertentu namun juga dari kedua pihak yang bertikai. Tapi berita hoax menyamarkannya dengan sangat baik.
Lalu dalam konteks seperti apa seperti apakah peran penyebar berita hoax. Bagaimana perannya membangun diskursus yang sehat bahkan di lingkungan kampus yang berisikan calon intelektual?
Demikian juga dengan organisasi radikal yang banyak memanfaatnya medsos untuk menarik simpati masyarakat. Apa yang mereka lakukan adalah menyebarkan paham mereka. Menebarkan perasaan ketidakadilan dan sebagai korban kepada targetnya. Pesan mereka jelas. "Agama Anda dan saudara Anda tengah direndahkan oleh pihak lain. Dan Anda tidak boleh tinggal diam". Mereka tidak jarang mengedit, mengambil foto dan memberikan konteks yang baru untuk mendukung pendapat mereka tersebut. Hasilnya.....banyak orang Indonesia yang berbondong-bondong bergabung ke dalam organisasi radikal tersebut dan turut berjuang di luar negeri.
Pendapat Bapak Rocky tentang para pembuat hoax dan harapan agar terbangunnya sebuah komunikasi subjek vis subjek lebih mirip dengan teori pasar persaingan sempurna. Saat pasar menjadi sangat efisien. Informasi pasar diperoleh dengan mudah. Tidak ada halangan bagi konsumen dan penjual untuk memasuki pasar. Barang-barang diproduksi pada tingkat skala ekonomi dan kualitas yang hampir sama. Pembeli dan penjual tidak ada yang menjadi price maker. Sebuah sistem ekonomi yang baik. Tapi dimanakah sistem seperti itu berada? Sayangnya hanya ada di dalam text book.
Lalu dalam sistem ekonomi terkenal dengan istilah adanya tangan-tangan yang tidak terlihat dan menciptakan keseimbangan atau biasa disebut laissez-faire. Sehingga pasar sewajarnya dibiarkan bebas tanpa adanya interverensi dari pemerintah. Mari kita bayangkan ketika petani memproduksi padi dalam jumlah yang tidak terkendali. Lalu pemerintah tidak melakukan intervensi karena haram hukumnya. Maka harga akan jatuh.
Well, menurut hukum pasar akan ada tangan-tangan yang mengembalikan sistem ke kondisi kesetimbangan. Ya, benar sekali. Bagaimana caranya? Dengan membuat petani mengalami kerugian besar karena harga jatuh dan tidak bisa mengembalikan kreditnya sehingga kapok menanam padi. Lalu mereka menjual lahannya dan oleh pihak lain diubah menjadi perumahan atau pabrik. Maka supply akan menurun maka harga akan naik. Laissez-faire. Hanya saja ketika itu terjadi, banyak lahan yang terlanjur beralih fungsi. Saat populasi penduduk bertambah, lahan sudah terlanjut tidak lagi mampu untuk memproduksi padi lebih besar lagi.
Sama halnya ketika nelayan ingin mendapatkan keuntungan besar dengan menangkat kepiting laut yang harganya mahal. Maka saat mereka mengeksplorasi secara besar-besarnya maka pasar mengalami oversupply. Dampaknya, harga jatuh. Namun akankah "tangan-tangan tak terlihat" akan mengembalikan harga kembali menarik? Ya! Bagaimana caranya? Dengan membuat kepiting tersebut punah. Sehingga tidak lagi ada yang bisa dijual di pasar. Maka harganya akan melonjak seharga mobil mewah.
Seperti kasus hoax. Ketika banyak orang yang menyebarkan hoax, apakah masyarakat dengan berbagai benturan masyarakat akan menjadi cerdas? Bisa saja. Akan menjadi kritis? Mungkin . Kapan? Bisa jadi, sama halnya saudara-saudara kita di Ambon, ketika masyarakat menyadari bahwa provokasi yang mereka santap selama ini pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri. Atau, dalam artian, kita sadari bahwa hoaxitu merusak ketika kita telah hancur sebagai sebuah bangsa. Saat itu terjadi, well, semua sadar, semua menyesal, tapi negara kita sudah hancur berkeping-keping.
Demikian juga dengan pendapat Bapak Rocky jika pemerintah adalah pelaku hoax yang paling sempurna. Mungkin ada benarnya jika kita kembali mengingat begitu efektifnya propaganda Jerman pada era Nazi untuk menjadikan masyarakatnya mesin pembunuh. Tapi itu dulu saat belum ada internet. Saat ini melalui medsos sebuah organisasi radikal bisa mencetak seorang anak muda untuk membuat kegaduhan di negaranya sendiri. Apakah negara ingin warga negaranya bersusah-susah keluar dari negaranya untuk berperang bagi organisasi radikal? Tentu tidak. Tapi faktanya  dalam kasus ratusan orang Indonesia yang tengah berjuang untuk keyakinannya, negara kalah. Padahal negara adalah aparatus hoax yang paling sempurna.
Pendapat membiarkan para penyebar hoax untuk tetap eksis barangkali sama halnya dengan membiarkan pedagang permen narkoba mencari mangsa anak-anak kecil. Lalu kita berkata, biarkan saja mereka tumbuh agar anak-anak kelak paham bahwa pedagang itu adalah orang jahat. Hanya saja ketika seorang anak mencoba permennya ia tidak sempat berpikir kritis untuk mengatakan hal tersebut. Sebaliknya sang pedagang menjadi orang paling baik sedunia karena permennya memberikan kesenangan luar biasa.
Jadi kembali lagi saya pertanyakan, dimanakah peran seorang penebar hoax dalam membangun masyarakat yang beradab? Atau jangan-jangan tumbuhnya hoax adalah perwujudan masyarakat yang sedang sakit? Lalu bagaimana sikap kita terhadap hoax dan para penyebarnya? Memujanya, melindunginya atau membiarkannya sebagai bagian dari pembangunan peradaban.
Tapi sekali lagi saya tidak tahu jawabannya. Saya pastikan Bapak Jokowi yang sering menjadi sasaran tembak masyarakat anomin juga bingung. Mungkin hanya Bapak Rocky Gerung yang paling mampu menjawabannya.
Hendra Sipayung
Penulis (Phone 085395459624)
Depok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H