Beberapa minggu berselang salah satu rekan saya kemudian datang ke kampus dengan pakaian jubah panjang dan sorban. Ia hadir untuk mengucapkan salah perpisahan kepada kawan-kawannya karena ia akan menunaikan tugas sucinya. Ia akan pergi ke Ambon. Saya memandanginya dari kejauhan dengan merasa cemas, karena orang-orang yang beragama dengan saya di Ambon yang akan menjadi targetnya kemudian.
Faktanya konflik yang terjadi di Ambon tidak sepenuhnya berawal dari pertikaian antar umat beragama. Sementara yang menjadi korban tidak hanya dari agama tertentu namun juga dari kedua pihak yang bertikai. Tapi berita hoax menyamarkannya dengan sangat baik.
Lalu dalam konteks seperti apa seperti apakah peran penyebar berita hoax. Bagaimana perannya membangun diskursus yang sehat bahkan di lingkungan kampus yang berisikan calon intelektual?
Demikian juga dengan organisasi radikal yang banyak memanfaatnya medsos untuk menarik simpati masyarakat. Apa yang mereka lakukan adalah menyebarkan paham mereka. Menebarkan perasaan ketidakadilan dan sebagai korban kepada targetnya. Pesan mereka jelas. "Agama Anda dan saudara Anda tengah direndahkan oleh pihak lain. Dan Anda tidak boleh tinggal diam". Mereka tidak jarang mengedit, mengambil foto dan memberikan konteks yang baru untuk mendukung pendapat mereka tersebut. Hasilnya.....banyak orang Indonesia yang berbondong-bondong bergabung ke dalam organisasi radikal tersebut dan turut berjuang di luar negeri.
Pendapat Bapak Rocky tentang para pembuat hoax dan harapan agar terbangunnya sebuah komunikasi subjek vis subjek lebih mirip dengan teori pasar persaingan sempurna. Saat pasar menjadi sangat efisien. Informasi pasar diperoleh dengan mudah. Tidak ada halangan bagi konsumen dan penjual untuk memasuki pasar. Barang-barang diproduksi pada tingkat skala ekonomi dan kualitas yang hampir sama. Pembeli dan penjual tidak ada yang menjadi price maker. Sebuah sistem ekonomi yang baik. Tapi dimanakah sistem seperti itu berada? Sayangnya hanya ada di dalam text book.
Lalu dalam sistem ekonomi terkenal dengan istilah adanya tangan-tangan yang tidak terlihat dan menciptakan keseimbangan atau biasa disebut laissez-faire. Sehingga pasar sewajarnya dibiarkan bebas tanpa adanya interverensi dari pemerintah. Mari kita bayangkan ketika petani memproduksi padi dalam jumlah yang tidak terkendali. Lalu pemerintah tidak melakukan intervensi karena haram hukumnya. Maka harga akan jatuh.
Well, menurut hukum pasar akan ada tangan-tangan yang mengembalikan sistem ke kondisi kesetimbangan. Ya, benar sekali. Bagaimana caranya? Dengan membuat petani mengalami kerugian besar karena harga jatuh dan tidak bisa mengembalikan kreditnya sehingga kapok menanam padi. Lalu mereka menjual lahannya dan oleh pihak lain diubah menjadi perumahan atau pabrik. Maka supply akan menurun maka harga akan naik. Laissez-faire. Hanya saja ketika itu terjadi, banyak lahan yang terlanjur beralih fungsi. Saat populasi penduduk bertambah, lahan sudah terlanjut tidak lagi mampu untuk memproduksi padi lebih besar lagi.
Sama halnya ketika nelayan ingin mendapatkan keuntungan besar dengan menangkat kepiting laut yang harganya mahal. Maka saat mereka mengeksplorasi secara besar-besarnya maka pasar mengalami oversupply. Dampaknya, harga jatuh. Namun akankah "tangan-tangan tak terlihat" akan mengembalikan harga kembali menarik? Ya! Bagaimana caranya? Dengan membuat kepiting tersebut punah. Sehingga tidak lagi ada yang bisa dijual di pasar. Maka harganya akan melonjak seharga mobil mewah.
Seperti kasus hoax. Ketika banyak orang yang menyebarkan hoax, apakah masyarakat dengan berbagai benturan masyarakat akan menjadi cerdas? Bisa saja. Akan menjadi kritis? Mungkin . Kapan? Bisa jadi, sama halnya saudara-saudara kita di Ambon, ketika masyarakat menyadari bahwa provokasi yang mereka santap selama ini pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri. Atau, dalam artian, kita sadari bahwa hoaxitu merusak ketika kita telah hancur sebagai sebuah bangsa. Saat itu terjadi, well, semua sadar, semua menyesal, tapi negara kita sudah hancur berkeping-keping.
Demikian juga dengan pendapat Bapak Rocky jika pemerintah adalah pelaku hoax yang paling sempurna. Mungkin ada benarnya jika kita kembali mengingat begitu efektifnya propaganda Jerman pada era Nazi untuk menjadikan masyarakatnya mesin pembunuh. Tapi itu dulu saat belum ada internet. Saat ini melalui medsos sebuah organisasi radikal bisa mencetak seorang anak muda untuk membuat kegaduhan di negaranya sendiri. Apakah negara ingin warga negaranya bersusah-susah keluar dari negaranya untuk berperang bagi organisasi radikal? Tentu tidak. Tapi faktanya  dalam kasus ratusan orang Indonesia yang tengah berjuang untuk keyakinannya, negara kalah. Padahal negara adalah aparatus hoax yang paling sempurna.
Pendapat membiarkan para penyebar hoax untuk tetap eksis barangkali sama halnya dengan membiarkan pedagang permen narkoba mencari mangsa anak-anak kecil. Lalu kita berkata, biarkan saja mereka tumbuh agar anak-anak kelak paham bahwa pedagang itu adalah orang jahat. Hanya saja ketika seorang anak mencoba permennya ia tidak sempat berpikir kritis untuk mengatakan hal tersebut. Sebaliknya sang pedagang menjadi orang paling baik sedunia karena permennya memberikan kesenangan luar biasa.