4. Bicara Dunia Fokusnya Tokoh yang Itu Lagi Itu Lagi
Kalau yang begini saya pernah tahu. Pokoknya apapun yang dibicarakan ya ujung-ujungnya tentang dirinya sendiri mulu. Ibaratnya film nih, dia itu kayak satu-satunya tokoh utama, yang lain cuman figuran.
Saran saya kurangilah komunikasi model begini, karena bisa sangat membosankan pendengar. Yang lebih parah, saat dia bicara, topik yang ke-akuan itu tak cukup dibahas sekali. Pokoknya kalau bisa berulang-ulang dan berkali-kali ngapain cuman disampaikan sekali.
Percaya atau tidak orang begini ada loh. Narsis tapi dalam kata-kata, gitulah kira-kira. Hati-hati sifat kayak gini bisa bikin kita tidak bicara yang substansial dan penuh curhat colongan.
Selain bikin daya nalar kita berkurang, sifat kayak gini juga bikin daya analisa kita lemah, dan perspektif kita sempit. Bagaimana tidak? Pembahasan kita hanya sebatas dimana kita terlibat secara “aku begini dan aku begitu.”
Mau ngasih contoh, ngasih perbandingan, semua di dasarkan pada dirinya sendiri. Ini bikin komunikasi jadi lari fokusnya bukan ke topik tapi malah ke si pembicara.
Mungkin hanya ini artikel sederhana yang bisa saya sampaikan. Ini adalah tulisan karena gagal bikin Cerpen buat event RTC tentang september-september itu.
Intinya dalam dunia komunikasi, kita tak bisa menerjemahkan segala sesuatu dari kata-perkata, atau dari teori komunikasinya Harold Lasswell yang bilang, who? says what? in which channel? to whom? with what effect? Teori ini standar bangetlah.
Ada jutaan maksud yang tersembunyi dalam diri manusia saat dia menyampaikan kata-kata. Tapi bersyukurlah, seperti yang dikatakan Albert Einstein, kita diberikan pengetahuan yang dapat melihat jauh lebih tajam dari pada mata.
Boleh setuju boleh tidak
Penikmat yang bukan pakar