"Ibu nyerah, deh. Habis senyum kamu mencurigakan," ujar ibu dengan tawa meledek.
"Ibu ingat teman-temanku yang sempat putus sekolah?"
"Iya, si Andi sama Bagas, kan? Kenapa mereka, Rin?"
"Hari ini mereka masuk sekolah lagi, Bu. Karin senang banget. Walaupun nggak sekelas, karena mereka harus mengulang di kelas 4. Tapi mereka pasti tetap semangat kan ya, Bu? Karena sekolah itu kan penting."
Ibu mencubit pipi Karina dengan gemas. Gaya bicara anak kelas 5 SD itu sudah mirip dengan orang dewasa.
"Tapi ada kabar lain lagi, Bu." tambah Karina.
Wajah ibu nampak penasaran.
"Tadi Bagas cerita, bahwa selama mereka nggak sekolah, Pak Sakim meminta mereka datang ke rumahnya supaya mereka tetap belajar. Dan biaya mereka sekolah sekarang ini dibiayai Pak Sakim, karena sekarang Pak Sakim mengajar di sekolah yang gajinya besar. Jadi dia bisa membiayai Bagas dan Andi." lanjut Karin.
"Wah, luar biasa. Keren sekali Pak guru kesayangannya Karina."
"Karin jadi merasa salah, Bu. Karin sempat jahat sama Pak Sakim. Karin kira Pak Sakim memang mau cari gaji besar aja. Karin nggak tahu kalau mimpinya Pak Sakim semulia ini."
"Ibu sudah pernah bilang kan? Cara mengejar mimpi dan cita-cita akan berbeda pada masing-masing orang. Tugas kita hanya mendukungnya. Ya, sudah. Untuk merayakan kebahagiaan ini, minggu depan kita undang teman-teman Karin, termasuk Bagas dan Andi untuk datang ke rumah. Pak Sakim juga kita undang. Bagimana?"