"Iya, dulu ibu pegawai pemerintahan. Apa kamu pernah ngobrol dengan ibu?"
"Iya tempo hari, sepertinya saat bu Nastiti memintamu mengurus sesuatu. Bu Nani cerita banyak hal. Tapi aku tak membahas tentang keluarganya, kok. Aku takut dampaknya buruk."
"Lagi pula percuma, Ne, ibu tak ingat apapun tentang keluarganya." Air wajah Galuh berubah seketika.
"Kakak dan adiknya kurasa tega juga, ya."
"Yang mengantarnya ke sini bukan kakak dan adiknya, Ne. Itu suaminya dan perempuan yang membuat ibu harus berada di sini."
Sempat terkejut dengan apa yang baru saja kudengar. Namun sebagai orang yang lebih sering mengurus Bu Nani, Galuh mungkin lebih punya banyak kesempatan untuk mendapatkan cerita dari wanita itu.
"Bukan tanpa alasan aku mau jadi pendamping di panti ini, Ne. Belasan tahun aku dipisahkan dengan ibu oleh ayahku dan istri barunya."
Seketika tenggorokanku tercekat.
"Sejak ibu mengidap demensia, ayah memutuskan untuk menikah lagi dan membawaku tinggal bersamanya. Ibu kerap berhalusinasi, mudah marah dan tak jarang pula mengamuk, ayah takut hal-hal yang tak diinginkan terjadi padaku," lanjut Galuh kemudian menarik napas dalam-dalam.
Aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun untuk melontarkan pertanyaan. Galuh butuh waktu untuk melanjutkan kembali ceritanya.
"Jika bukan karena melihat berkas-berkas tentang panti ini, mungkin aku tak pernah tahu bahwa ayah dengan sengaja menitipkan ibuku di sini. Walau ibu tak pernah mengingatku, tapi itu semata-mata bukan keinginannya, kan? Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai anak."