Bu Nani seorang pengidap demensia, ia diantar ke panti oleh seorang pria dan wanita yang mungkin adalah kakak atau adiknya. Dan itu sudah belasan tahun lalu. Sejak diantar, pihak panti tak bisa lagi menghubungi pihak keluarga karena nomor yang diberikan ternyata tak bisa dihubungi.
*
Pagi itu, semua pasien sudah duduk di ruang makan. Ada yang menikmati sarapan sambil berbincang satu dengan yang lain, ada pula yang hanya berdiam diri tanpa menyentuh sarapannya sama sekali.
"Salam kenal, Bu Nani. Saya Anne." sapaku.
Wanita itu hanya melirik sebentar kemudian mengalihkan pandangannya ke sisi lain.
"Hari ini kita sarapan bubur kacang hijau, Ibu mau, kan?" aku masih mencoba mengajaknya bicara, namun wanita itu masih abai padaku.
"Urusan bu Nani, serahkan saja pada Galuh, itu pawangnya," suara Beni, salah satu pendamping lain mengejutkanku. Ternyata ia tahu kesulitanku mengajak bu Nani berkomunikasi.Â
Benar saja, tak lama kemudian Galuh muncul. Perempuan berambut sebahu itu langsung mengambil alih tugasku.
"Kamu urus yang lain ya, Ne. Biar bu Nani sama aku."
Aku hanya mengangguk dan membiarkan Galuh mendorong kursi roda wanita tua itu keluar ruang makan.
Mungkin, bu Nani tak nyaman diurus relawan lain. Soal kenyaman jelas hati yang punya peranan.