"Buku masakan saja, saya dulu suka masak."
Aku pun pamit sebentar untuk mengambilkan buku yang ia minta dan kurang dari 5 menit aku kembali menemuinya.
"Bu, ini bukunya." Kusodorkan sebuah buku berisi kumpulan resep-resep masakan.
"Apa saya minta dibawakan buku?"
Aku terdiam, demensia ini ternyata memang sudah benar-benar mempengaruhi daya ingat bu Nani. Tak kehabisan akal, kucoba menawarkan pilihan lain, mengajaknya bercerita. Kutanyakan apa makanan yang ia suka, nama-nama artis lawas yang mungkin pernah jadi idolanya dan banyak hal lainnya. Aku berusaha tak menyinggung perihal keluarganya. Ternyata, bu Nani lebih suka dengan aktivitas ini. Dari bibirnya mengalir deras sejumlah cerita tentang hal-hal yang kutanyakan. Dan yang semakin membuatku senang adalah di sela ceritanya, bu Nani sempat terkekeh menceritakan itu semua.
Dari caranya bertutur, sepertinya bu Nani bukan orang sembarangan. Kalimat demi kalimat tersusun dengan sangat baik. Bu Nani bisa membuat orang yang diajaknya bicara merasa nyaman mendengarkannya.
*
Waktu berlalu begitu cepat, genap satu tahun aku menjadi pendamping di panti ini. Aku senang saat para lansia mengingat nama dan memanggilku kala mereka butuh bantuan.
Walau begitu, di antara puluhan lansia, hanya Bu Nani yang masih sulit mengingat namaku. Tak hanya aku, seorang Galuh pun yang setiap hari merawatnya kerap terlupa namanya.
Setiap hari jadwal istirahat para pendamping harus bergantian. Siang itu, aku mendapat kesempatan makan bersama Galuh dan tugas kami sementara digantikan oleh pendamping yang lain. Selama kami menikmati makan siang, mata Galuh tak lepas dari sosok Bu Nani yang tengah berbincang dengan lansia lain di taman yang berseberangan dengan ruang makan.
"Luh, dari gaya bicaranya, sepertinya bu Nani itu dulu wanita karier, ya?"