Tak ada yang pernah benar-benar tahu rasanya menjadi mereka, sejumlah lansia yang harus tinggal bersama dalam sebuah bangunan seraya membagikan alasan-alasan yang membawa mereka datang.
*
"Anne, ya? Perkenalkan, saya Bu Nastiti. Saya pengurus panti ini bersama dengan 7 pendamping yang merawat 68 orang pasien. Semoga kamu betah di sini ya, Ne."
Itu adalah sambutan pertama ketika aku menginjakkan kaki di tempat ini. Panti Wreda Tulus. Sebuah tempat yang memunculkan sejumlah rasa. Bu Nastiti mengingatkan agar aku tak kaget dengan perubahan-perubahan sikap para lansia di sana karena tak semua merasa bahagia. Tetap ada sudut yang menyimpan rasa rindu pada keluarga dan ingin kumpul bersama.
Sesungguhnya panti bukanlah sebuah tempat yang asing untukku. Aku pernah menghabiskan masa kecil hingga remaja bersama ratusan anak yang yang sama-sama kurang beruntung di sebuah panti asuhan. Sebuah beasiswa membawaku keluar panti dan tinggal di asrama. Sebenarnya apa bedanya? Sama-sama hidup mandiri dan tanpa orang tua.
Mimpi merawat orang tua sudah ada sejak aku kecil, walaupun aku sendiri tak pernah mengenal siapa mereka. Namun, aku selalu berpikir, Tuhan itu adil, bukan hanya anak-anak yang ditelantarkan orang tua, melainkan tak sedikit pula orang tua yang ditelantarkan buah hatinya.
Hal itu yang membuat niat ini tumbuh, sebuah keinginan untuk menjaga para orang tua yang kurang beruntung di panti wreda ini.
Bu Nastiti memperkenalkanku dengan beberapa orang pendamping. Galuh salah satunya. Dan ia yang akhirnya menjadi teman sekamarku.
Tak semua pasien dijamin oleh keluarga mereka, ada pula pasien yang ditinggalkan di sini begitu saja.
Bu Nani salah satu yang menarik perhatianku. Wajahnya ayu, kulitnya kuning langsat walau tidak kencang lagi. Sorot mata Bu Nani selalu sendu.