Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perundungan di Sekolah Bukan Hanya Antar Siswa, Lho?

29 Oktober 2023   14:54 Diperbarui: 1 November 2023   17:05 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perundungan | sumber: shutterstock

Masuk di minggu ke dua masih sama, bahkan ia hanya mengenal 1 nama temannya dari 15 siswa dalam kelas. Saya ingat betul nama anak itu Rizki.

Di minggu ketiga, muncul perubahan sikap dari anak saya, yakni ia jadi malas ke sekolah. Tiap kali dibangunkan pasti nangis. Nangis yang terkesan sangat sedih. Saya tanyakan langsung pada anak saya, Toby namanya. Apa ada yang membuatnya tidak nyaman? Atau dia sudah melakukan kesalahan? Dia hanya menjawab jika dia tidak mau sekolah lagi. Dia mau di rumah saja.

Saya mulai cari tahu ke gurunya, apa yang yang salah, anak saya atau bagaimana? Gurunya hanya menjawab "Masih tahap adaptasi, Bu. Wajar saja kalau Toby begini." Mungkin karena perasaan orang tua, rasanya saya nggak cukup percaya dengan alasan sesederhana itu.

Saya coba ajak anak saya nonton film anak-anak. Di mana ada adegan siswa dan siswi dalam sebuah sekolah bermain dengan sangat akrab. Saya tanyakan lagi, apa dia melakukan hal yang sama seperti kondisi di dalam film? Dengan tegas dia bilang, "tidak".

Pelan-pelan saya coba pancing agar semua yang ia pendam bisa tersampaikan. Ternyata, selama ini dia tidak cukup percaya diri untuk menggunakan Bahasa Indonesia di luar rumah. Sehingga jika ada temannya yang ngobrol dia hanya mendengarkan. Dia paham apa yang sedang dibicarakan tapi sulit untuk menjawab dengan Bahasa Indonesia jika mendapatkan pertanyaan dari temannya.

Sejak itu, teman-temannya mulai melakukan perundungan. Saat Toby sudah mulai berani untuk bicara mereka malah meledek dengan ucapan-ucapan yang tidak saya kira bisa dilakukan anak seusia itu.

"Toby kamu nggak bisa ngomong? Kamu gagu, ya? Ngomong kamu kok nggak jelas, sih? Aaaa..ee...aa...ee ngomong apa, sih?"

Berulang-ulang tiap kali anak saya mulai buka suara, tanggapan demikian yang terlontar dari teman-temannya. Jujur, sedihnya luar biasa ketika tahu anak saya mendapatkan perlakuan demikian. Pastinya semua orang tua akan merasakan perasaan yang sama jika mengalami hal ini. 

Saya tidak menyalahkan anak-anak itu, karena umurnya juga bisa dikatakan belum paham kalimat apa yang sekiranya bisa menyakiti orang lain. Saya juga tidak menyalahkan orang tua mereka. Karena hal itu terjadi di luar rumah, saya dan mereka sama-sama mempercayakan interaksi mereka di sekolah pada gurunya.

Lantas 'bagaimana sikap gurumu saat kamu diperlakukan begitu?' pun tak luput saya tanyakan pada anak saya. Ia hanya menjawab, 'gurunya nggak lihat'. Baiklah, pada akhirnya saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa selain diri sendiri.

Setelah itu anak saya jadi benar-benar tidak mau sekolah. Saya coba ajak ke sekolah lain, tetap membuatnya tidak tertarik. Akhirnya saya skip tingkat TK, untungnya di sini pendidikan TK tidak wajib. Tanpa ijazah TK, anak-anak tetap bisa melanjutkan ke Sekolah Dasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun