Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fabel: Babo, Bekantan yang Tinggi Hati

8 Oktober 2023   10:34 Diperbarui: 8 Oktober 2023   11:24 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kanalkalimantan.com/

Pagi adalah saatnya memulai hari. Matahari dan semua makhluk hidup di dunia kembali melakukan aktivitas rutin seperti biasanya. Termasuk para Bekantan pada salah satu hutan mangrove di bumi Kalimantan. Bekantan adalah primata yang jika dilihat sekilas perawakannya serupa dengan monyet juga orangutan. Bekantan hidup berkelompok. Dalam tiap kelompok akan ada seekor Bekantan jantan yang dipilih menjadi ketua. Beberapa bulan lalu diadakan pemilihan. Karena pertimbangan tubuhnya yang paling besar, didaulatlah Sang Babo sebagai ketua mereka yang baru.

Babo memiliki sahabat baik bernama Lubi. Melihat sahabatnya diangkat sebagai ketua kelompok, Lubi ikut merasa senang. Ia hanya berharap Babo bisa jadi pemimpin yang baik dan selalu rendah hati.

*

"Teman-teman, ayo, berkumpul dulu, ada yang ingin aku sampaikan," Sang Babo mengumpulkan teman-temannya yang malam itu sedang bersantai di pepohonan yang tumbuh di tepi sungai.

"Ada apa? Bukankah ini waktunya kita tidur?" tanya betina remaja bernama Puya.

"Hanya sebentar dan ini sangat penting untuk kita semua," balas Sang Babo dengan kedua tangan bersedekap di dada. Setelah memastikan formasi sudah lengkap, Babo pun mulai buka suara.

"Melihat kondisi hutan yang kini mulai kekeringan, aku minta besok kita cari makan lebih pagi lagi, agar tidak kalah cepat dengan kelompok lain. Jika kita sampai di hutan lebih dulu dari mereka, maka jatah makanan kita pun akan semakin banyak." Babo langsung menyampaikan maksudnya mengumpulkan mereka semua malam ini.

"Apa harus seperti itu, Babo?" tanya Lubi dengan mata menyelidik.

Mendengar pertanyaan Lubi, Babo seketika menjadi emosi, "Aku ketua kelompok di sini, jika kau tak mau ikut aturanku, silakan pindah ke kelompok lain," ujar Babo ketus.

Lubi terdiam, ia kaget mendengar jawaban Sang Babo. Sebagai ketua baru, tak selayaknya ia menjawab pertanyaan kelompoknya semacam itu. Sebagai sahabat ia tak menyangka, sikap Babo berubah secepat ini.

Banyak pasang mata yang memandang iba pada Lubi, salah satunya adalah Paman Edu, sosok yang dituakan dalam kelompok ini.

"Jangan kau ambil hati ucapan Sang Babo tadi, ya. Dia hanya ingin terlihat berwibawa di hadapan kalian." bekantan tua itu menenangkan.

Lubi mulai berpikir, sebagai anggota ia memang tak punya banyak hak bicara. Tapi sebagai sahabat ia harus mengambil sikap.

*

Pukul lima pagi, langit masih agak gelap, bahkan mentari seakan masih terjaga dalam selimut awan. Para bekantan pun sepertinya lupa arahan ketuanya semalam. Mereka tetap terlelap di atas pohon-pohon Bruguiera yang tinggi menjulang.  

Tiba-tiba suara besar Sang Babo terdengar ke segala penjuru. Menimbulkan gema yang menyeramkan.

"Ayo, ayo, semua bangun. Kalian jangan malas. Ingat, makin cepat kalian ke hutan, semakin banyak yang bisa kalian makan!"

Semua yang mendengar suara Sang Babo langsung buru-buru membuka mata lebar-lebar. Beberapa Bekantan balita sampai terjungkir dari pelukan ibunya. Mereka takut muncul kiamat kecil jika tak segera hadir di hadapan pimpinannya. Beberapa menit kemudian, belasan ekor bekantan sudah berdiri di depan Sang Babo. Hampir semuanya memasang wajah panik dan ketakutan. Namun, tidak termasuk Lubi. Dia cukup santai berhadapan dengan sahabatnya sepagi ini.

"Kalian lupa apa yang kukatakan semalam? Atau kalian sengaja tak mau mengikuti perintahku?" Suara Babo penuh emosi. Semua anggota kelompok makin ciut dibuatnya. "Sekarang, masuklah ke hutan, makanlah yang banyak. Jangan sampai kalian sia-siakan kesempatan ini. Ingat, makanlah sampai kenyang." perintahnya dengan suara lebih keras hingga gema itu muncul lagi.

Para bekantan cepat-cepat melompat ke pohon-pohon untuk mulai menjelajah hutan. Pergerakkan mereka sangat cepat bagaikan kilat. Kaki dan tangan begitu lihai kala bergelayut di dahan-dahan pohon yang kuat.

"Kau tidak ikut mereka masuk ke hutan, Lubi?" tanya Babo yang melihat sahabatnya masih tetap berdiri di dekatnya.

"Belum waktunya, sejak orang tua kita masih hidup, kita tak pernah mencari mencari makan sepagi ini, Babo." balas Lubi dengan santai.

"Tapi ini bukan musim yang baik, semua saling beradu cepat memperoleh makanan, kau paham atau tidak?"

"Sepertinya, setelah dipilih menjadi ketua, kau mudah sekali lupa, ya? Selain lupa menjadi pemimpin yang rendah hati, kau juga lupa bahwa di musim kemarau kita selalu bisa menerima apa pun untuk dimakan. Kulit dan batang pohon, kadang pula rayap sampai dengan larva serangga bisa jadi pilihan lain untuk kita,"

"Jangan terlalu banyak mengguruiku. Kau tidak berhak melakukan itu. Jangan anggap kita sahabat, jika kau sulit menerimaku sebagai pimpinanmu sekarang!"

Lubi melesat cepat, kata-kata Babo barusan sedikit membuat hatinya terluka. Mengapa Babo menjadi seperti ini?

*

http://namakucell.blogspot.com/
http://namakucell.blogspot.com/

Lubi bergerak dari satu pohon ke pohon lain, berusaha menutupi rasa kecewanya pada Babo. Ia bersenandung, berharap sedikit bisa mendapatkan ketenangan. Baginya mencari makan bukanlah sebuah kompetisi, sehingga tak perlu terlalu buru-buru. Sepanjang pencariannya, ekor matanya tetap mengawasi mana pohon yang bisa jadi rejekinya hari ini. Sampai akhirnya matanya menangkap sebuah pohon rambai yang berbuah lebat.

"Wah, banyak sekali," mata Lubi berbinar mendapatkan buah favoritnya. Ia mengunyah satu demi satu buah rambai yang sudah matang. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri sambil menikmati buah rambai yang manis sekali.

Setelah merasa cukup, Lubi mengambil sisa rambai yang masih ada di pohon. Kemudian bergegas menuju suatu tempat.

*

Tuntutan dari Babo terus dilakukan teman-temannya setiap hari. Jangan sampai ada kelompok lain yang berhasil mengambil jatah mereka.

Sampai akhirnya ...

Menjelang petang seluruh bekantan kembali ke titik kumpul. Beberapa di antaranya tampak kesakitan seraya mengelus perutnya. Melihat kondisi itu, Sang Babo kebingungan. 

"Ada apa ini? Apa yang terjadi dengan kalian?"

"Kami kekenyangan, perut kami sakit sekali, Sang Babo,"

"Kami makan semuanya sampai habis, kami mengikuti semua arahanmu, tapi akhirnya perut kami terasa mau pecah,"

Babo bergeming, ia merasa ada yang salah dengan perintahnya. Lubi yang berdiri di sebelahnya menatapnya dalam-dalam.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" Nada suara Babo meninggi. "Kau ingin menyalahkanku? Aku pemimpin kalian, aku tak pernah salah." Lanjut Babo lagi dengan berapi-api.

Lubi menarik napas dalam-dalam. Ia tak ingin terpancing sikap Babo yang sangat angkuh. Lubi memilih untuk menjauhi Babo untuk sementara waktu, sampai sahabatnya itu benar-benar tenang dan menyadari kesalahan yang sudah ia lakukan.

*

Sepanjang malam Babo tak bisa tidur. Ia terus memikirkan beberapa bekantan dalam kelompoknya yang merasa kesakitan. Tiada yang menemaninya bicara malam itu, teman-temannya mungkin marah, mungkin pula sudah sangat membencinya.

Tiba-tiba ada sosok yang mendekat, Babo terkejut melihat kemunculan Puya dan Lubi secara bersamaan.

"Apakah kau sudah tenang?" tanya Lubi pelan.

"Apa aku salah?" Babo balik bertanya dengan nada lemah.

"Kau tahu kenapa teman-teman kita sampai kesakitan seperti itu?"

Babo menunduk lagi.

"Kau memaksa kami untuk makan sampai kenyang. Kau tahu? Gas dari daun-daun yang mereka makan itu terus menekan perut mereka sampai akhirnya terasa sakit."

Babo mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk, "aku hanya ingin kelompok kita tetap hidup, aku ingin kelompok ini unggul dari yang lain, hanya itu, Lubi."

"Tapi kita justru bisa mati," Puya menyela.

"Kau tahu, saat ini populasi kita tak banyak. Para manusia memburu kita penuh nafsu. Hanya kita yang bisa menjaga populasi ini dari mereka. Tapi bagaimana bisa menjaga jika makanan saja tak mau kita bagi dengan teman-teman yang lain, Babo?"

Seketika Babo merasa sedih, ternyata ia sudah melakukan sesuatu yang salah karena sudah menyiksa kelompoknya, juga kelompok lain.

"Apa mereka semua akan membenciku?" tanya Babo.

"Tak ada kata terlambat untuk minta maaf,  Sahabatku."

"Lubi, apakah kau mau menemaniku menemui kelompok lain? Aku harap mereka baik-baik saja dan tetap bertahan hidup walau makanan mereka beberapa hari ini mungkin tak cukup,"

"Idemu agar kami bangun lebih pagi bukan hal yang terlalu buruk, Kawan. Dengan begitu aku punya banyak kesempatan untuk mencari tahu di mana sumber-sumber makanan yang bisa kita semua tuju. Dan kuberi pula informasi itu pada kelompok lain, agar tak ada yang kelaparan dan bisa menjaga kaum kita dari kepunahan."

"Terima kasih Lubi, kau memang sahabat terbaikku," ucap Babo dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun