Banyak pasang mata yang memandang iba pada Lubi, salah satunya adalah Paman Edu, sosok yang dituakan dalam kelompok ini.
"Jangan kau ambil hati ucapan Sang Babo tadi, ya. Dia hanya ingin terlihat berwibawa di hadapan kalian." bekantan tua itu menenangkan.
Lubi mulai berpikir, sebagai anggota ia memang tak punya banyak hak bicara. Tapi sebagai sahabat ia harus mengambil sikap.
*
Pukul lima pagi, langit masih agak gelap, bahkan mentari seakan masih terjaga dalam selimut awan. Para bekantan pun sepertinya lupa arahan ketuanya semalam. Mereka tetap terlelap di atas pohon-pohon Bruguiera yang tinggi menjulang. Â
Tiba-tiba suara besar Sang Babo terdengar ke segala penjuru. Menimbulkan gema yang menyeramkan.
"Ayo, ayo, semua bangun. Kalian jangan malas. Ingat, makin cepat kalian ke hutan, semakin banyak yang bisa kalian makan!"
Semua yang mendengar suara Sang Babo langsung buru-buru membuka mata lebar-lebar. Beberapa Bekantan balita sampai terjungkir dari pelukan ibunya. Mereka takut muncul kiamat kecil jika tak segera hadir di hadapan pimpinannya. Beberapa menit kemudian, belasan ekor bekantan sudah berdiri di depan Sang Babo. Hampir semuanya memasang wajah panik dan ketakutan. Namun, tidak termasuk Lubi. Dia cukup santai berhadapan dengan sahabatnya sepagi ini.
"Kalian lupa apa yang kukatakan semalam? Atau kalian sengaja tak mau mengikuti perintahku?" Suara Babo penuh emosi. Semua anggota kelompok makin ciut dibuatnya. "Sekarang, masuklah ke hutan, makanlah yang banyak. Jangan sampai kalian sia-siakan kesempatan ini. Ingat, makanlah sampai kenyang." perintahnya dengan suara lebih keras hingga gema itu muncul lagi.
Para bekantan cepat-cepat melompat ke pohon-pohon untuk mulai menjelajah hutan. Pergerakkan mereka sangat cepat bagaikan kilat. Kaki dan tangan begitu lihai kala bergelayut di dahan-dahan pohon yang kuat.
"Kau tidak ikut mereka masuk ke hutan, Lubi?" tanya Babo yang melihat sahabatnya masih tetap berdiri di dekatnya.