Saya mau bagi-bagi kisah pribadi. Waktu itu saya sedang memiliki hubungan yang serius dengan seorang cowok berinisial A. Namun, jujur saya merasa sangat tidak percaya diri jika gabung dengan circle-nya yang berisi anak-anak dari salah satu kampus swasta termahal di Jakarta.Â
Walau pasangan si A ini terus meyakinkan bahwa tidak seharusnya saya merasa insecure dengan kondisi itu, tapi sebagai orang yang tumbuh dan besar di pinggiran Jakarta membuat saya tak bisa melepaskan diri dari rasa rendah diri. Hal itu berlangsung selama dua tahun.Â
Lama-lama saya tidak tahan juga dengan kondisi ini, akhirnya saya menceritakan keresahan itu pada seorang sahabat lama. Sebut saja di si BN, yang notabene kami memang cukup akrab saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mungkin karena dia yang lebih tahu bagaimana proses saya berkembang dari sejak jaman sekolah, dan bagaimana lingkaran pergaulan saya, akhirnya saya merasa menemukan kenyamanan itu lagi.Â
Obrolan kami masih sama, menertawakan hal yang sama berulang-ulang. Untuk sebagian orang mungkin itu terkesan buang waktu. Tapi bagi saya itu menyenangkan.
Mulai dari situ kami pun akhirnya membuat kesepakatan tidak tertulis, bahwa jika saya tidak jadi menikah dengan si A atau jika terjadi apa-apa dengan hubungan kami, maka satu-satunya pengganti adalah si BN ini.Â
Anehnya, BN ini mau saja menerima kesepakatan itu. Mulanya BN ini jomblo, alias tidak punya pacar, namun seiring berjalannya waktu, mungkin dia juga mau punya pasangan yang "sedikit lebih jelas", dia sempat ajak saya bicara tentang niatnya untuk membangun hubungan dengan perempuan lain. Saya iyakan tanpa pikir panjang. Toh, saya juga punya pacar, rasanya nggak fair kalau saya melarangnya punya kekasih yang nyata.
Selang beberapa bulan, saya dan BN mulai jarang berkomunikasi. Ditambah lagi dengar dari beberapa teman yang tidak tahu kami ada "sesuatu" bahwa antara BN dengan pacarnya semakin intim saja.Â
Saat itu jujur saya mulai merasakan kehilangan sosoknya. Saya jadi cemburu nggak karuan. Padahal kami tak punya ikatan yang jelas.Â
Saya jadi keki sendiri, mau marah malu, nggak marah rindu, eakkkk. Saya mulai menyadari, hubungan semacam ini bukan jalan keluar, melainkan masalah yang justru baru saya mulai.
Kembali lagi ke pembahasan backburner ini, secara manusiawi, siapa sih yang nggak mau dicintai 2 orang sekaligus dalam wakitu yang sama? Ini lepas dari yang dicintai punya perasaan yang sama atau tidak, ya.Â
Secara manusiawi baik pria maupun wanita  akan lebih memilih dicintai dari pada mencintai. Banyak yang bilang mencintai itu melelahkan, lebih sering cemburu dan curiga, harus melakukan banyak effort untuk keberlangsungan hubungan, dan selalu punya rasa takut ditinggalkan. Hal itu tentunya sangat menyita pikiran dan kesabaran.