Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sebuah Lesehan di Jogja, Membuktikan Hukum Tabur Tuai Itu Bekerja

25 September 2023   16:17 Diperbarui: 8 Oktober 2023   12:51 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2007 saya memutuskan untuk kuliah di Jogja. Selain karena alasan Jogja adalah Kota Pendidikan, juga karena kota itu adalah tujuan liburan yang tak pernah absen keluarga kami datangi tiap tahun.

Datang untuk berlibur dan datang sebagai orang yang akan berdomisili sementara tentunya memiliki beberapa perbedaan. Cuaca, interaksi dengan penduduk asli, dan kebudayaan mereka adalah sejumlah adaptasi yang saya lakukan.

Sebagai anak kuliah yang jauh dari orangtua tidak serta merta membuat saya dimanjakan dengan uang jajan yang banyak. Saya harus mengatur keuangan sendiri. Bagaimana uang bulanan harus cukup untuk biaya kos, makan, kebutuhan kampus (di luar uang semesteran), dan biaya dolan.

Sebagai anak dari luar Jogja yang berkampus di universitas swasta, membuat saya sering mendapat ledekkan, "jauh-jauh ke Jogja cuma ngampus di swasta?" Saat itu saya cuma bisa ketawa (sambil nangis dalam hati). Tapi, mau bagaimana? Mungkin jatah otak saya hanya satu sendok teh saja, hikssss...

Tiap akhir pekan saya suka ikut teman-teman saya nongkrong. Nggak ada kata absen. Pokokmen nek ora metu dino Septu ora mbois. Kadang di kafe-kafe sepanjang jalan Prawirotaman pokoknya yang menyajikan live music, kadang nongkrong sampai masuk angin di jalan Solo, kadang clubbing kalau nekad. *eh

Akhirnya, uang bulanan yang sudah saya bagi-bagi sesuai kebutuhan terpaksa ada yang saya alokasi ke kebutuhan nongkrong tadi. Alhasil, uang bulanan habis sebelum waktunya. 

Mau minta orangtua lagi, takut dimarahin, mau pinjam teman, nggak mau dianggap anak Jakarta kok kere. Pokoknya gengsi saya benar-benar kental gaya anak ibu kota, lah. Kwkwkwkw

Nah, kebetulan kampus dan tempat kos saya dekat dengan Malioboro. Zaman itu sepanjang toko-toko Malioboro di waktu malam belum ada larangan untuk berjualan makanan lesehan. Saya beruntung jadi mahasiswa di zaman itu.

Nah ada salah satu lesehan di sana Namanya Warung Trotoar. Pemiliknya bernama Pakdhe Kampret. Entah siapa nama asli beliau, pokoknya nama hits-nya itu.

Menu makanan berat yang disajikan di sana adalah nasi goreng. Itu memang makanan favorit. Banyak wisatawan yang tiap kali ke Jogja selalu mampir ke sana. Rasanya enak, gurih, tanpa kecap.

Pernah suatu hari saya datang dan nggak punya uang. Pakdhe Kampret melihat gelagat bokek saya yang memenuhi ekpresi diri ini. Tanpa saya pesan tahu-tahu sudah ada seporsi nasi goreng teri yang disajikan di depan mata, lengkap dengan es jeruk. Pakdhe itu selalu hafal kebiasaan pelanggan.

Antara malu dan lapar, saya pilih malu saja. Tanpa basa basi saya langsung habiskan seporsi sendirian. Urus bayar pikir belakangan.

Setelah saya selesai makan, pakdhe mendekat. Sebenarnya saya ketar ketir disuruh bayar, tapi ternyata bukan itu.

Masih saya ingat sekali kalimatnya, "Puluhan tahun Pakdhe jualan, ngalamin anak kampus gonta ganti tiap tahun, yang semodel kamu itu banyak."

Saya berpikir keras saat itu. Tapi namanya wong lagi kere itu suka baperan, jadi saya langsung paham maksudnya. Saat itu saya sudah pegang ponsel, rencana mau nekad kirim SMS ke orangtua minta tambahan uang jajan. Jujur saya malu banget, padahal belum jelas arah pembahasan Pakdhe Kampret ini ke mana.

"Anak kampus nggak punya uang itu biasa. Namanya ke sini buat belajar bukan buat kerja. Kamu kalau besok-besok nggak ada uang, bilang, ya. Kalau cuma ma'em aja Pakdhe bisa sediakan. Tapi kan tahu kalau Pakde buka warungnya malam, jadi ya tunggu, itung-itung kayak puasa Ramadan,"

Rasanya bagai tersambar bule malam hari di Malioboro dengar ucapan Pakdhe, orang yang belum lama kenal sudah memperlakukan saya sebaik ini.

Jujur, mau nangis rasanya saat itu.

Sejak hari itu kalau saya kehabisan uang dan lapar ya saya langsung datang. Bukan aji mumpung, karena saya minta pakdhe hitung, nanti saat uang bulanan saya ditransfer langsung saya bayar. Tapi saya pun memutuskan untuk jadi freelance di salah satu optik yang cabangnya banyak di Jogja. Jadi kalaupun saya kasbon ya nggak banyak-banyak juga karena saya punya gaji, hehehe.

Sebenarnya soal memberi makan anak kos dari luar kota ini juga sudah dilakukan lebih dulu oleh kakek saya. Bedanya, kakek saya di Jakarta. 

Waktu itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Rumah kami di Rawamangun. Banyak anak kampus di IKIP Jakarta (sekarang UNJ) yang kos di lingkungan rumah kami, termasuk di rumah kakek. 

Kakek saya juga menerapkan pola yang sama dengan Pakdhe Kampret. Walaupun biaya kos mahasiswa-mahasiswa itu tidak termasuk makan, tapi Kakek selalu minta ibu saya masak lebih tiap hari. Untuk jaga-jaga siapa tahu ada anak kos yang sedang nggak punya uang.

Kembali ke kisah saya dan Pakdhe Kampret.

Setelah selesai pendidikan, saya kembali ke Jakarta. Bekerja lalu berkeluarga. Saat anak saya berusia 1,5 tahun, saya bawa dia dan suami ke Jogja. Sengaja kami cari hotel dekat Malioboro supaya dekat ke warung Pakdhe.

Pakdhe kelihatan senang sekali melihat saya datang dengan keluarga kecil saya. Wajahnya sumringah. Kami berbincang tentang banyak hal. Ingatan Pakdhe masih sangat baik sekali. Hampir semua kejadian yang berhubungan dengan saya diingatnya. Hanya soal kasbon makan itu justru saya yang bongkar cerita di depan suami. 

Bagi saya itu bukan aib, itu pembelajaran. Bagaimana sosok bapak walaupun tidak kandung tapi sangat peduli pada anak-anak di sekelilingnya. Sekalipun sebenarnya anak itu memiliki keluarga yang lebih kaya dari pada dia. Tapi saat itu Tuhan yang menunjuknya untuk membantu. Dan dia mengulurkan tangannya untuk menjadi malaikat tanpa sayap.

Ini alasan kenapa Jogja selalu mendapat tempat di hati saya, selalu menjadi tempat impian menghabiskan sisa usia.

Tapi sekarang, setelah Malioboro ada larangan berjualan makanan di pelatarannya, Pakdhe buka warung di rumah dibantu istrinya. Menunya masih sama, nasi goreng andalan.

Pakdhe terlihat bugar terakhir kami ketemu di 2021. Tapi saat itu saya datang sendiri karena ada tugas kantor ke Jogja.

Pakdhe di warungnya yang baru. (Dokumentasi Pribadi)
Pakdhe di warungnya yang baru. (Dokumentasi Pribadi)

Mungkin ada yang kenal Pakdhe?

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Teman-teman, hukum tabur tuai itu ternyata benar-benar ada, ya?

Kakek saya yang menabur dan saya yang menuai.

Saya berjanji, kebiasaan seperti ini tak boleh berhenti di sini.

Akan saya teruskan kelak pada anak dan cucu saya nanti.

Salam sayang,

Ajeng Leodita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun