Kakek saya juga menerapkan pola yang sama dengan Pakdhe Kampret. Walaupun biaya kos mahasiswa-mahasiswa itu tidak termasuk makan, tapi Kakek selalu minta ibu saya masak lebih tiap hari. Untuk jaga-jaga siapa tahu ada anak kos yang sedang nggak punya uang.
Kembali ke kisah saya dan Pakdhe Kampret.
Setelah selesai pendidikan, saya kembali ke Jakarta. Bekerja lalu berkeluarga. Saat anak saya berusia 1,5 tahun, saya bawa dia dan suami ke Jogja. Sengaja kami cari hotel dekat Malioboro supaya dekat ke warung Pakdhe.
Pakdhe kelihatan senang sekali melihat saya datang dengan keluarga kecil saya. Wajahnya sumringah. Kami berbincang tentang banyak hal. Ingatan Pakdhe masih sangat baik sekali. Hampir semua kejadian yang berhubungan dengan saya diingatnya. Hanya soal kasbon makan itu justru saya yang bongkar cerita di depan suami.Â
Bagi saya itu bukan aib, itu pembelajaran. Bagaimana sosok bapak walaupun tidak kandung tapi sangat peduli pada anak-anak di sekelilingnya. Sekalipun sebenarnya anak itu memiliki keluarga yang lebih kaya dari pada dia. Tapi saat itu Tuhan yang menunjuknya untuk membantu. Dan dia mengulurkan tangannya untuk menjadi malaikat tanpa sayap.
Ini alasan kenapa Jogja selalu mendapat tempat di hati saya, selalu menjadi tempat impian menghabiskan sisa usia.
Tapi sekarang, setelah Malioboro ada larangan berjualan makanan di pelatarannya, Pakdhe buka warung di rumah dibantu istrinya. Menunya masih sama, nasi goreng andalan.
Pakdhe terlihat bugar terakhir kami ketemu di 2021. Tapi saat itu saya datang sendiri karena ada tugas kantor ke Jogja.
Mungkin ada yang kenal Pakdhe?
Teman-teman, hukum tabur tuai itu ternyata benar-benar ada, ya?