Sejak hari itu Wahyu mulai memproses kebun mininya, ia senang melakukannya karena walaupun kecil, itu adalah miliknya sendiri. Ia semangat membeli bibit dan pupuk. Jahe Merah, Kunyit, Lengkuas dan kencur adalah varietas yang jadi pilihan. Istrinya pun memberi dukungan penuh. Walaupun hasilnya tak bisa dijual, minimal untuk dipakai sebagai rempah masakan sehari-hari, mereka tak perlu membeli.
*
Saatnya pun tiba, dibantu oleh anaknya yang sedang libur kuliah, Wahyu memanen rempah-rempah di kebun yang kini menjadi milik Dudi. Karung-karung berisi Jahe Merah diantar ke rumah Dudi menggunakan motor roda tiga yang mereka sewa.
"Lumayan juga hasilnya, ya." ucap Dudi melihat karung-karung yang disusun bapak dan anak itu di garasi rumahnya.
Wahyu hanya mengangguk tanpa berkata-kata.
Kemudian Dudi memencet tombol-tombol di ponselnya, "Sudah saya transfer ya, Pak Wahyu." Sembari menunjukkan layar ponselnya.
Wahyu terkejut melihat deretan angka  yang tertera.
"Kok banyak sekali, Pak? Ini kan baru Jahe Merah saja. Kunyit dan Lengkuas masih bulan depan panennya."
"Saya sudah diskusi dengan si pembeli tanah itu. Jadi mereka nggak bisa menunggu lama. Panen digagalkan karena minggu depan mereka akan mulai pembangunan workshop dan uang itu sebagai gantinya. Terima kasih atas kerjasamanya ya, Pak Wahyu."
Rasa kaget Wahyu bercampur sedih di saat yang sama. Begitu pun Rio, anaknya. Rio tahu ayahnya pasti amat kecewa dengan keputusan Pak Dudi. Namun, ia pun tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong. Bapak dan anak itu akhirnya ijin undur diri dengan perasaan yang tak karuan.
*