Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rempah-Rempah Si Penggerak Hati

9 September 2023   17:11 Diperbarui: 9 September 2023   17:14 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pngwing.com

Setiap pukul enam pagi Pak Dudi selalu sudah duduk di beranda rumah. Secangkir kopi, roti atau kue-kue basah selalu menemani, tak lupa koran lokal sebagai sarapan otak sehari-hari. Banyak tetangga yang melintas di depan kediaman mewahnya, karena letaknya memang berada di pinggir jalan utama. Mayoritas pekerjaan mereka adalah petani dan pekebun, karena itu satu-satunya pekerjaan yang mudah didapatkan. Dudi mungkin lebih beruntung nasibnya, ia memiliki bisnis pribadi. Hampir 20 tahun ia dan sang istri berkecimpung dalam bidang jual beli tanah. Biasanya mereka mencari orang-orang yang tengah membutuhkan uang, sehingga ia bisa membelinya dengan murah lalu menjualnya kembali dengan harga yang berlipat ganda.

"Selamat pagi Pak Dudi, belum berangkat?" sapa Pak Wahyu, salah seorang pekebun rempah yang terkenal sangat ulet bekerja. Namun, tahun lalu, dengan terpaksa tanah perkebunannya harus dijual pada Pak Dudi karena ia kekurangan dana pendidikan untuk anaknya yang sedang kuliah di kota. Kendati lahan itu sudah dijual, Dudi mengatakan bahwa Wahyu masih boleh berkebun di sana, hanya penjualan hasil panennya nanti dibagi dua. Walau terkesan kurang bijaksana, namun Wahyu menerimanya karena berkebun adalah satu-satunya mata pencaharian untuk menutupi kebutuhan keluarga.

"Wah, Pak Wahyu. Kebetulan Bapak lewat jadi saya nggak usah repot-repot datang ke rumah."

"Ada apa, Pak?"

"Kapan kira-kira kita bisa panen ya, Pak?"

"Untuk Jahe Merah bisa satu bulan lagi. Kunyit dan Lengkuas kurang lebih 2 bulan lagi, Pak."

"Jadi begini, kemarin ada yang minat membeli tanah perkebunan itu. Katanya mau dibangun untuk workshop baja. Memang sudah rejeki saya, ada saja yang mau beli tanah dengan harga tinggi walaupun di kampung begini. Nanti akan saya sampaikan kalau orang itu harus tunggu sampai panen dulu supaya kita tidak rugi. Betul kan, Pak?"

Wahyu terdiam mendengar cerita Dudi. Seketika perasaannya mulai tak enak.

"Setelah panen lalu bagaimana, Pak?

"Ya, Bapak nggak perlu ke kebun lagi. Nanti pun kebagian jatah penjualan hasil panen terakhirnya, bisa dipakai untuk buka warung sembako mungkin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun