Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinderamata dari Old Lubby's Shop

1 September 2023   05:15 Diperbarui: 2 September 2023   01:00 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu pagi aku menyusuri Portobello Road Market seorang diri. Melewati toko-toko yang menawarkan barang-barang antik. Sebenarnya aku tak mencari apapun, tapi lebih baik begini dari pada menghabiskan waktu di rumah dengan Lowa, kucingku yang kini mulai berkutu.

"Kau bisa menemukan barang idamanmu puluhan tahun lalu tanpa sengaja di pasar ini," kata Paman Frank, adik tiri ibuku saat pertama kali aku berkunjung ke sini. Rasanya itu terdengar berlebihan. Aku bukan Thomas Wright si kolektor barang antik yang lahir di Tenbury Wells itu. Aku hanya seorang Jeremiah Lucas, seorang calon novelis yang hampir 10 tahun masih belum mampu menyelesaikan karya perdanaku itu.

Langkahku terhenti di salah satu toko. Entah, seakan ada yang membelokkan tubuhku untuk masuk ke sana. Bangunan klasik bernuansa hitam putih itu mungkin yang menarik perhatian.

"Selamat datang di Old Lubby's Shop, senang melihatmu mampir ke sini, anak muda," seorang pria yang usianya mungkin sama dengan kakekku jika dia belum mati itu menyambut.

"Biarkan saya melihat--lihat dulu. Bisa?"

Pria itu mengangguk beberapa kali membuat getaran kecil pada gelambir di lehernya. Sekalipun dia tersenyum dan berusaha terlihat ramah, sorot matanya tak menampakkan dia orang yang benar-benar baik. Aku selalu waspada, bukan, bukan selalu, mungkin terlalu waspada.

Aku mulai menjelajahi toko tua itu. Di bagian kiri ada rak besi yang terlihat cukup kokoh seakan menyambut kedatangan pengunjung. Di dalamnya tersusun banyak pajangan bermacam ukuran yang biasanya ditemui di rumah masa kecil orang tua kalian. Pajangan dinding Seoul National University dari campuran tembaga babet tin terlihat lumayan, sayangnya belum terpikir untuk membawanya pulang. Pajangan tangan wanita dengan jari-jarinya yang lentik malah membuatku takut jika pada malam hari ia akan bergerak sendiri dan mencekikku.

"Sudah menemukan apa yang kau cari?" suara si Old Lubby mengejutkanku. Ternyata sejak tadi ia mengikutiku dari belakang. Apa dia pikir aku akan mencuri, hah?

"Apa tidak ada yang lebih menarik?"tanyaku santai.

"Apa yang kau suka?" sorot mata tuanya menyelidik.

"Aku suka buku, mendengarkan musik. Ya, semacam itu."

Pria itu memberi kode agar aku mengikuti langkahnya. Kami beriringan masuk ke ruang yang lebih dalam. Ternyata toko ini bertingkat namun tak nampak dari luar. Menaiki anak tangga berbahan kayu membuatku harus sedikit berhati-hati. Bobotku lebih besar dari pada pemilik toko ini.

Kembali lagi aku berhadapan dengan beberapa rak namun sedikit lebih pendek dari yang ada di ruang bawah tadi. Sederet Compact Cassette ditata dengan sangat rapi. Aku merabanya, tak kurasakan ada debu yang menempel. Hebat!

"Aku punya album The Rise and Fall of Ziggy Stardust and the Spiders from Mars dari David Bowie. All the Young Dudes milik Mott the Hoople, mungkin? Atau album Blue Swede? Ada juga ...,"

"Tuan, boleh biarkan aku melihat semua koleksimu dulu?" kupotong usaha promosinya. Jujur, semua yang ia sebutkan terdengar asing. Aku tak kenal siapa mereka. Mungkin aku terlalu muda atau terlalu cuek dengan band-band di masa itu. Tapi yang pasti, aku tak pernah nyaman jika ingin berbelanja ada pramuniaga yang sibuk menjelaskan ini dan itu.  

Old Lubby lagi-lagi mengangguk, kali ini tanpa senyum. Baguslah, lagi pula kami sesama pria. Untuk apa melempar senyum berlebihan?

"Jika sudah ada yang kau pilih, kau bisa membayarnya di lantai bawah. Sebelah pintu masuk," ucapnya dingin lalu meninggalkanku secepat angin.

Aku bergegas meninggalkan rak-rak kaset, bergerak menuju koleksi buku-buku tua. Kukira itu jauh lebih menarik. Sesuai profesiku sebagai seorang no..., ah, belum. Aku belum menjadi seorang novelis. Jika Luke, temanku yang sudah merilis novel perdananya itu mendengar aku mengaku sebagai novelis, bisa jadi buku Lord of the Flies mendarat di kepalaku.

Mataku berpindah dengan cepat dari satu buku ke buku yang lain. Dan aku menangkap sesuatu yang menarik. Sampulnya berwarna hitam berbahan kulit. Untungnya pramuniaga tua itu tidak melapisi semua koleksinya dengan plastik, sehingga aku bisa membaca sedikit isi di dalamnya sebelum benar-benar membelinya.

Halaman demi halaman kubuka perlahan. Aku bisa mencium aroma kertasnya yang usang. Buku ini ternyata ditulis tangan. Rapi sehingga tak perlu usaha keras untuk membacanya.

"Perempuan kecil datang, entah dari mana. Hadir sebagai teman yang baik. Sejak matahari bersinar, sampai bulan mengembalikan pagi, anak perempuan itu tak pernah pergi. Bahkan saat tak merasa kesepian pun dia selalu ada. Jangan menolaknya, karena mulai dari kau tahu ini, ikatan itu dimulai."

 Aku tersenyum membaca tulisan itu. Ini seperti seorang yang polos mencoba membuat dongeng. Tapi, kenapa buku ini bisa ada di sini? Sepertinya aku harus membelinya. Buku ini unik. Aku akan menunjukkannya pada Luke. Dia pasti akan terkesima.

Baru hendak kututup buku itu, aku dikejutkan dengan munculnya sepasang suami istri dan seorang anak perempuannya yang cantik dengan rambut dikepang dua. Seharusnya aku tak terkejut, ini kan toko. Wajar saja jika ada pengunjung lain selain diriku. Bodoh!

Aku bergegas kembali ke lantai dasar. Pramuniaga tua tadi menyuruhku membayar di kasir sebelah pintu masuk. Namun, lagi dan lagi aku terkejut. Kondisi ruang bawah tak sama dengan saat awal aku masuk tadi. Ruangan itu gelap. Hanya sedikit cahaya yang masuk dari sela-sela atap toko yang berlubang.

 Sial, apa ini?

Aku memutari ruang bawah, tak ada pintu keluar. Dadaku sesak. Aku panik. Kemana Old Lubby tadi? Apa dia kesal sehingga menjebakku di toko ini? Aku mencoba kembali ke lantai atas, kejutan yang kesekian kali, tak ada rak-rak berisi kaset dan buku. Sepasang suami istri dan anak mereka pun lenyap. Tubuhku limbung. Pandanganku gelap.

---2---

Aku membuka mata perlahan, tubuhku terasa dingin. Aku berusaha mengenali keberadaanku saat ini. Ya, ini kamarku. Ini benar-benar kamar tidurku. Apa tadi aku bermimpi? Tapi semua terasa jelas sekali.

"Jeremy, lama sekali kau tidur. Lihat jam berapa ini?" Ibu menunjuk jam weker ada di meja kerja.

Jam 11 malam? Sejak jam berapa aku tidur? 

"Apa aku benar-benar seharian di rumah?"

"Menurutmu? Seharian Ibu menunggumu bangun. Ibu memasak, memetik bunga-bunga yang layu, makan siang dan malam sendirian, memberi makan kucingmu yang menjijikkan itu, sampai menerima tamu anehmu."

"Tamu? Siapa?"

"Seorang gadis kecil, tapi sejak kapan kau menyukai anak kecil? Dia mengantarkan ini,"

Ibu meletakkan sebuah buku bersampul hitam di meja kerjaku. "Jangan sampai kau lupakan makan malammu. Ibu sudah menyiapkan semua." Kemudian ibu keluar dari kamar.

Aku menatap buku itu. Ya, itu buku yang ada dalam mimpiku. Buku yang dijual di Old Lubby's Shop. Tidak, berarti itu bukan mimpi. Tapi apa? Kenapa aku bisa lupa sejak kapan aku tidur?

Seketika rasa takut memenuhiku. Tubuhku terasa semakin dingin. Aku tak mau melihat buku itu lagi. Lantas, siapa anak perempuan itu? Kenapa dia bisa sampai ke rumah ini?

Tiba-tiba aku merasakan kehadiran seorang anak perempuan kecil. Ia berdiri di sudut kamar. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Iya, anak yang tadi Bersama kedua orang tuanya itu ada di sini. Dia bersamaku.

Seketika aku mendengar dia mengucapkan, "Perempuan kecil datang, entah dari mana. Hadir sebagai teman yang baik. Sejak matahari bersinar, sampai bulan mengembalikan pagi, anak perempuan itu tak pernah pergi. Bahkan saat tak merasa kesepian pun, dia selalu ada. Jangan menolaknya, karena mulai dari kau tahu ini, ikatan itu dimulai."

*

Aku tak akan pernah melupakan kejadian itu. Sampai hari ini aku pun tak pernah tahu kejadian yang sebenarnya. 

Hingga kini anak kecil itu masih terus bersamaku.

Terima kasih sudah membaca kisahku.




Jeremiah Lucas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun