Pengalaman saat di kelas 1, beberapa dari kami mendapat pinjaman buku paket dari sekolah, yang kami lihat kondisi buku tersebut sepertinya hasil dari hibah murid yang naik ke kelas 2.
Wali kelas memang tidak pernah mengeluarkan statement verbal yang menyatakan bahwa pembelian Buku Paket dan LKS ini sifatnya wajib.Â
Tapi kok hampir setiap hari tugas yang diberikan ada di LKS atau di Buku Paket? Ulangan harian pun soal-soalnya ada di LKS.Â
Di Buku Paket juga anak-anak langsung mengerjakannya di buku tersebut (bukan seperti saat saya SD dulu yang harus menyalin soal dari buku paket ke buku tulis).Â
Soal-soal untuk PR yang ditulis di papan tulis mulai kelas 2 ini seingat saya sangat jarang sekali. Sejak awal tahun pelajaran mungkin baru 2 kali diberikan. Jadi, wajib atau tidak?Â
Faktanya, tidak semua murid bisa memenuhi kebutuhan yang diminta sekolah. Beberapa anak membeli dengan cara mencicil. Namun ada pula yang tidak membeli sama sekali. Sebut saja namanya Zaki. Baik buku paket maupun LKS dia tidak punya.Â
Anak ybs tidak punya buku pun saya baru ketahui setelah wali kelas mengirimkan video melalui whatsapp group kelas untuk aktivitas belajar anak-anak di hari itu. Di mana saat semua anak sibuk latihan membaca di buku paket masing-masing, sementara Zaki duduk dengan wajah kikuk dan menahan malu, padahal ada teman sebangkunya yang membawa buku.Â
Sepatutnya wali kelas mengajarkan teman sebangku Zaki itu untuk sharing. Bukankah berbagi itu merupakan bentuk ajaran yang seharusnya bisa didapatkan di sekolah?
Jujur, pemandangan itu yang membuat saya juga orangtua murid lain merasa sedih. Saat anak saya sudah pulang sekolah, saya tanyakan kenapa Zaki tidak ikut membaca? Dia lupa bawa buku atau bagaimana? Anak saya mengatakan, Zaki memang tidak punya buku paket dan LKS, dia juga belum bisa membaca.
Saya coba konfirmasi pada wali kelas, dan beliau mengatakan betul, memang demikian adanya. Namun sayangnya, wali kelas tidak memberikan solusi untuk menutupi kebutuhan anak tersebut.