Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

LKS Katanya Sih Tidak Wajib, tapi?

31 Agustus 2023   11:50 Diperbarui: 3 September 2023   07:24 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa sekolah. (Dok. Abdul Rahmat/Kompas.com)

Tahun kedua menjadi wali murid sekaligus koordinator kelas di anak saya membuat saya pelan-pelan bisa ikut bisa mempelajari karakter anak selain anak saya sendiri.

Oh, ya, ini Sekolah Dasar Negeri, ya.

Kami terdiri dari 3 orang. Ketua, Sekretaris, dan Bendahara.

Sebagai bendahara sudah berang tentu saya yang cukup tahu kondisi keuangan para wali murid. Mudahnya, saya melihat dari disiplinnya mereka membayar kas atau membeli LKS. 

PENGADAAN LKS

Di sekolah anak saya memang ada penggunaan LKS yang harus dibeli di luar sekolah. Dalam hal ini Korlas diminta bantuannya untuk mengkoordinir urusan tersebut. 

Dengan alasan sesuai dengan Bagian Ketujuh Larangan Pasal 198 Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/ madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang: a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; 

Di kelas anak saya, muridnya berjumlah 37 siswa. Masing-masing siswa diwajibkan untuk membeli 6 LKS untuk 1 tahun ajaran.

Rinciannya:

  • LKS Tema 1 = 20.000
  • LKS Tema 2 = 20.000
  • LKS Tema 3 = 20.000
  • LKS Tema 4 = 20.000
  • LKS Agama = 15.000
  • LKS Bahasa Sunda = 15.000

Jadi tiap siswa diminta untuk mengeluarkan dana 110.000 untuk keperluan LKS selama satu tahun.

Angka ini di luar buku paket yang konon katanya stoknya tidak banyak dari sekolah. Akhirnya, mayoritas di kelas kami, para wali murid membeli secara online. Contohnya saya pribadi yang membeli buku paket seharga 80an ribu di salah satu e-commerce.

Pengalaman saat di kelas 1, beberapa dari kami mendapat pinjaman buku paket dari sekolah, yang kami lihat kondisi buku tersebut sepertinya hasil dari hibah murid yang naik ke kelas 2.

Wali kelas memang tidak pernah mengeluarkan statement verbal yang menyatakan bahwa pembelian Buku Paket dan LKS ini sifatnya wajib. 

Tapi kok hampir setiap hari tugas yang diberikan ada di LKS atau di Buku Paket? Ulangan harian pun soal-soalnya ada di LKS. 

Di Buku Paket juga anak-anak langsung mengerjakannya di buku tersebut (bukan seperti saat saya SD dulu yang harus menyalin soal dari buku paket ke buku tulis). 

Soal-soal untuk PR yang ditulis di papan tulis mulai kelas 2 ini seingat saya sangat jarang sekali. Sejak awal tahun pelajaran mungkin baru 2 kali diberikan. Jadi, wajib atau tidak? 

Faktanya, tidak semua murid bisa memenuhi kebutuhan yang diminta sekolah. Beberapa anak membeli dengan cara mencicil. Namun ada pula yang tidak membeli sama sekali. Sebut saja namanya Zaki. Baik buku paket maupun LKS dia tidak punya. 

Sumber : https://lifestyle.okezone.com/
Sumber : https://lifestyle.okezone.com/

Anak ybs tidak punya buku pun saya baru ketahui setelah wali kelas mengirimkan video melalui whatsapp group kelas untuk aktivitas belajar anak-anak di hari itu. Di mana saat semua anak sibuk latihan membaca di buku paket masing-masing, sementara Zaki duduk dengan wajah kikuk dan menahan malu, padahal ada teman sebangkunya yang membawa buku. 

Sepatutnya wali kelas mengajarkan teman sebangku Zaki itu untuk sharing. Bukankah berbagi itu merupakan bentuk ajaran yang seharusnya bisa didapatkan di sekolah?

Jujur, pemandangan itu yang membuat saya juga orangtua murid lain merasa sedih. Saat anak saya sudah pulang sekolah, saya tanyakan kenapa Zaki tidak ikut membaca? Dia lupa bawa buku atau bagaimana? Anak saya mengatakan, Zaki memang tidak punya buku paket dan LKS, dia juga belum bisa membaca.

Saya coba konfirmasi pada wali kelas, dan beliau mengatakan betul, memang demikian adanya. Namun sayangnya, wali kelas tidak memberikan solusi untuk menutupi kebutuhan anak tersebut.

Sejak kelas 1, kelas kami memberlakukan pembayaran iuran kas sebesar 10.000/bulan. Zaki termasuk yang tidak tertib membayar. Karena terhitung hingga saat ini, total yang dibayarkan baru 20.000 saja. Padahal kebutuhan kelas yang menggunakan dana Kas cukup banyak. 

Mulai dari donasi bulan dana PMI, kebutuhan pembelian kenang-kenangan wali kelas dan pembelian bingkisan saat kenaikan kemarin, juga dana sukarela untuk murid yang sakit. Walaupun kas ini sifatnya wajib, tapi kami tetaplah manusia. 

Kami berusaha memahami kondisi keuangan masing-masing orangtua murid. Sehingga kami tidak bisa memaksakan. Dan bersyukurnya saya, wali murid di kelas anak saya ini juga tidak terlalu "berisik" mengomentari kondisi itu.

Sebagai korlas, saya berinisiatif untuk mengajak bicara orangtua Zaki. Biar bagaimanapun fungsi kami bukan sekadar "tukang tagih" uang kas, kan? 

Kami juga berusaha menjadi penengah antara guru dan wali murid, keluhan yang mungkin orangtua murid malu untuk menyampaikan pada wali kelas bisa dibicarakan melalui kami lebih dulu. Namun karena melihat orangtua Zaki yang tidak komunikatif ini, membuat saya gemas ingin bertanya dulu perihal kondisi yang sebenarnya terjadi.

Di sini saya melakukan komunikasi dengan Ibu dari Zaki, beliau mengatakan bahwa ayahnya Zaki hanya pengemudi ojol yang memberi nafkah hanya 20.000/hari. Uang itu untuk kebutuhan mereka sehari-hari saja tidak cukup. 

Satu keluarga terdiri dari Ayah, Ibu, dua orang kakak Zaki dan Zaki. Ayah Zaki kerap marah jika istrinya meminta uang untuk kebutuhan sekolah. Adegan marah-marahnya pun di depan anak-anaknya. Kondisi ibunya Zaki pun tidak bekerja.

Di sini saya sedikit kesal melihat sikap Ibu Zaki yang terkesan pasrah dengan kondisi mereka sehingga efeknya berpengaruh pada pencapaian Zaki di kelas. 

Zaki memang terlihat berbeda. Dia kerap sendirian, melamun, tidak berkomunikasi dengan teman-temannya. Mungkin anak ini depresi melihat kondisi kedua orangtuanya yang kerap ribut. Ia juga mungkin merasa malu di sekolah karena jangankan bisa membaca, buku pun tidak punya. Yang saya takutkan bukan hanya itu, bagaimana jika Zaki terkena gangguan mental?

Sumber : https://sma.kemdikbud.go.id/
Sumber : https://sma.kemdikbud.go.id/

PENGADAAN LES

Di kelas anak saya ini, wali kelas menyediakan les atau kegiatan belajar di luar jam pelajaran sekolah yang dilakukan di rumahnya, dengan tarif 100.000/anak/bulan. Untuk 4 kali pertemuan (seminggu 2x dan 1 jam/pertemuan).

Padahal, sudah jelas ada undang-undang Bagian Ketujuh Larangan Pasal 198 Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/ madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang b) memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orangtua/walinya di satuan pendidikan. 

Intinya, boleh saja anak mengikuti les, asalkan yang memberikan les bukan guru kelas yang memberikan nilai atau bukan dari guru yang sama.

Untuk yang orangtuanya mampu, pengadaan buku paket, LKS, maupun biaya les yang harus dikeluarkan dengan dana pribadi mungkin bukan masalah besar. Yang kami pikirkan hanya kelancaraan pembelajaran anak-anak kami saja.

Namun, bagaimana dengan anak-anak yang kurang beruntung yang hidup dengan bermacam kekurangan? Apalagi baik guru maupun orangtua tidak ada komunikasi 2 arah. Sehingga kondisinya menjadi semakin kaku.

Walaupun ada Permendikbudristek Nomor 21 tahun 2023 tentang standar penilaian semua jenjang pendidikan yang mengatur tentang standar kelulusan, yang katanya semua murid tidak akan ada yang tinggal kelas, hal itu tetap tidak cukup menjadi alasan bagi guru maupun wali murid untuk tidak mempedulikan kemampuan belajar masing-masing anak. Kalau semua pasrah begini, siapa yang akan memotivasi anak-anak?

Jadi, yang pintar cuma yang punya uang, itu ada benarnya, jika yang kurang pintar tidak mendapat dukungan moril dan materil dari tim pengajar dan wali murid di rumah.

Lalu, apa solusi yang korlas lakukan untuk ananda Zaki tersebut?

Alhamdulillah, kami masing-masing bisa bagi tugas dalam menyediakan buku yang diperlukan oleh Zaki. Di sini kami sengaja tidak menggunakan dana kas, karena kami tidak mau membebani para orangtua lain untuk memenuhi kebutuhan salah satu murid saja yang notabene bukan anak mereka. Karena kami pun tidak tahu bagaimana upaya para orangtua lain untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. 

Rasanya tidak fair juga untuk mereka. Walaupun tetap dalam memutuskan hal ini kami juga sudah melibatkan mereka dalam diskusi yang melibatkan perwakilan wali murid di luar korlas.

Bapak, Ibu orangtua murid, yang mungkin memiliki masalah seperti Zaki ini, semua manusia itu punya masalah. Baik masalah di rumah atau di luar rumah. Tapi bukankah Tuhan memberikan masalah beserta jalan keluarnya juga? Anak itu amanah. Kehadiran mereka dan cara kita merawat mereka adalah bentuk tanggung jawab yang harus digenapi. 

Asuh (pemenuhan sandang, pangan, papan), asih (kasih sayang dan pengelolaan emosi), asah (stimulasi) itu merupakan kebutuhan dasar anak untuk bisa tumbuh dengan optimal.

Untuk para guru terkhusus wali murid, saya pribadi mengharapkan adanya komunikasi dua arah jika terdapat kendala-kendala selama proses belajar mengajar ini berlangsung. Jangan sampai ada kesenjangan sosial yang sangat nampak sehingga mengecilkan mentah anak-anak yang kurang beruntung itu.

Semoga kasus Zaki ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua.

Salam sayang,

Ajeng Leodita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun