Platonic love. Istilah yang terdengar agak asing di telinga. Namun, setelah coba untuk cari tahu, ternyata maknanya sangat dekat dengan apa yang terjadi dalam kehidupan saya atau bahkan mungkin kita selama ini.Â
Platonic love atau cinta platonik atau hubungan platonis bisa terjadi pada siapa saja dan tanpa rencana.Â
Saya pernah menjalankan hubungan ini dengan dua sampai tiga orang teman cowok. Bagaimana bisa?Â
Sesuai dengan definisinya, platonic love adalah sebuah hubungan tanpa tendensi keromantisan maupun hal-hal yang beraroma seksualitas. Ini murni sebuah ikatan hubungan yang hanya berdasarkan kesamaan minat, kekaguman, rasa percaya untuk menceritakan masalah-masalah yang tengah dihadapi tanpa takut merasa was-was, menemukan rasa ingin menghargai dan dihargai tanpa tekanan, dan memiliki perasaan yang sangat dekat namun sama sekali tidak terbesit untuk memiliki seutuhnya. Dan itu yang selama ini saya jalankan dengan para sahabat-sahabat saya.Â
Ada satu lagu milik Carol King berjudul You've Got A Friend yang saya rasa cukup menggambarkan tentang makna cinta platonik ini.Â
Pada lirik "Close your eyes and think of me, and soon I will be there. To brighten up even your darkest night. You just call out my name, and you know, wherever I am. I'll come runnin' to see you again", si pemilik lagu berusaha menggambarkan bagaimana seorang sahabat memberikan jaminan bahwa dia akan selalu ada dan bisa diandalkan. Syahdu, ya?
Anyways, banyak hal yang menjadi latar belakang mengapa saya bisa mengalami hubungan platonis dengan sahabat laki-laki.
Pertama, saya tidak punya kakak laki-laki, sehingga saya sangat nyaman berteman dengan cowok karena merasa selalu dijaga dan dilindungi.Â
Kedua, saya suka pola pikir laki-laki karena (mayoritas) mereka lebih mengutamakan logika. Pernah dengar ungkapan serupa rumus, bahwa perempuan menggunakan 9 perasaan dan 1 logika, sementara laki-laki menggunakan 9 logika dan 1 perasaan? Itu fakta.Â
Kaum adam lebih fair dalam memandang setiap masalah, mereka lebih senang mengambil keputusan yang masuk akal dari pada hanya sekadar memikirkan bagaimana cara menjaga perasaan.Â
Oleh karena itu, tidak banyak laki-laki yang mau terlibat dalam sebuah hubungan rumit yang penuh drama. Dan, hal itu pula yang tanpa sengaja sudah membentuk mental saya sebagai perempuan untuk tidak berdrama ria jika tengah menghadapi masalah.Â
Ketiga, saya jadi bisa lebih memahami perasaan laki-laki atau saya jadi bisa lebih tahu bagaimana seharusnya bersikap menjadi cewek yang menyenangkan kekasih saya setelah banyak mendengar curhat sahabat-sahabat saya itu.
Keempat, jika saya ingin melakukan sesuatu pada pasangan saya, terlebih dulu saya menceritakan kepada para sahabat saya dan melihat bagaimana respons mereka sebagai laki-laki. Sehingga saya sudah punya bayangan, apa yang akan terjadi jika hal tersebut saya lakukan.Â
Dan yang terakhir, kami bisa saling memberi saran dalam memilihkan pasangan. Ini hal paling seru sepanjang persahabatan saya dan mereka.
Pernah dengar sebuah quotes yang bunyinya, "Tidak ada yang namanya persahabatan murni dengan lawan jenis" kan?
Jujur, saya sangat tidak sepakat dengan ungkapan itu. Persahabatan dengan teman-teman lawan jenis ini sudah berlangsung selama belasan tahun, bahkan yang puluhan tahun pun ada. Lalu, apa ada hal yang terjadi lebih dari itu? Tidak! Saya bisa memberikan jaminan itu.
Mungkin karena di antara kami sudah tidak ada rasa sungkan, saling menceritakan "borok" tanpa rasa malu, sehingga yang kami punya hanya rasa sayang yang tidak lagi bermuara ke arah yang lebih dari sekadar persahabatan.
Jika kita seringkali merasa bingung dengan apa maunya pasangan karena dia banyak diam, hal itu sepertinya tidak akan terjadi pada orang-orang yang mengalami hubungan platonis. Tanpa dijelaskan pun, kita seperti sudah paham apa maunya orang tersebut, apa yang sedang terjadi padanya, dan kita harus melakukan apa.
Tapi, tidak ada sebuah hubungan yang selalu baik-baik saja, bukan? Platonic love ini juga punya kendala, lho. Yang jelas-jelas saya alami adalah saat satu per satu sahabat saya menikah. Hubungan pertemanan kami tentunya sudah tidak bisa sekarab dulu lagi.
Di sini saya memposisikan diri menjadi istri mereka. Mungkin saya juga akan merasa kurang suka jika suami saya dekat dengan perempuan lain. Apa pun alasan yang melatarbelakangi. Kita kembali lagi ke rumus perempuan menggunakan 9 perasaan dan 1 logika, sementara laki-laki menggunakan 9 logika dan 1 perasaan.
Bagimana pun usaha saya dan sahabat saya sampai mati-matian menunjukkan bahwa hubungan kami tidak akan lebih dari itu tapi bagaimana jika istrinya tidak suka? Apa kami harus memaksakan kehendak? Tentu tidak, dong! Dalam hal apapun kode etik tetap ada. Jangan selalu mengatasnamakan persahabatan tapi menyakiti orang yang juga mengharapkan diri kita seutuhnya.
Dalam hubungan platonis ada kondisi yang disebut womance yaitu ikatan platonic love antara dua wanita. Apakah saya mengalaminya? Tentu saja.Â
Inisialnya SM. Mulanya kami kenal karena sama-sama giat menulis fiksi di blog keroyokan tercinta ini. Sebenarnya, saya agak pemilih untuk bisa dekat dengan sesama perempuan, karena saya punya kriteria tersendiri untuk bisa menganggapnya sebagai teman dekat, minimal kami harus satu frekuensi, sama-sama nggak jaim, dan punya pola pikir di luar kebiasaan kaum kami.Â
Saya nggak bisa bersahabat dengan cewek yang hobinya mengeluh, over sensitive, over thinking dan cengeng. Satu-satunya alasan saya mau bersahabat dengan SM ini karena saya kagum dengan kemandiriannya.Â
Sejak usia belasan tahun dia sudah hijrah dari Cirebon ke Denpasar dan membiayai dirinya sendiri, mulai dari hidup, kuliah, hingga menikah. Darinya saya belajar banyak tentang bagaimana selayaknya memandang hidup sebagai anak sulung yang menjadi harapan orang tua. Saya sungguh kagum dengan kepribadiannya.Â
Walau persahabatan kami baru menginjak hampir 13 tahun, tapi saya seakan sudah mengenalnya puluhan tahun. Kami seperti memiliki telepati.Â
Jika saya memiliki masalah, maka ia akan muncul dengan sendirinya tanpa diminta. Kemudian dia akan menanyakan apakah kondisi saya baik-baik saja atau tidak. Begitu pun yang saya lakukan padanya. Kami seakan saling mengisi. Ada hal yang tidak bisa saya ceritakan pada sahabat-sahabat cowok, saya bisa sampaikan ke SM. Makanya saya nggak punya banyak sahabat cewek sejak dulu. Saya merasa satu orang ini saja lebih dari cukup.Â
Tahun ke tahun sahabat saya hanya itu-itu saja. Tapi itu tidak jadi masalah, saya akan melakukannya selama saya merasa nyaman melakukannya.
Perbedaan yang saya rasakan berteman dengan cewek dibandingkan cowok adalah saat sesi curhat berlangsung, kami butuh waktu yang agak lebih lama untuk saling menguatkan, biasanya diawali dengan menangis bersama, berusaha merasakan apa yang dia rasakan, kemudian sama-sama mencari solusi atas apa yang sedang terjadi. Apa hal itu seperti membuang banyak waktu? Tidak juga, hanya rasanya dalam menyelesaikan satu masalah, progress terasa lebih lambat jalannya. Walaupun begitu, saya menikmati tiap prosesnya.
Kembali lagi ke soal persahabatan dengan lawan jenis, apa mungkin bisa terjadi hal-hal di luar kewaspadaan kita?Â
Contoh kasus, tiba-tiba akhirnya jadi jatuh cinta pada sahabat kita sendiri? Wallahualam bish-shawab, hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, karena bagaimana pun kita berencana tetap Allah yang menentukan. Tapi jika hal itu benar terjadi, jelas hubungan itu sudah bergeser makna dari platonic love menjadi romantic love. Hal yang menjadi unsur-unsur dalam platonic love berangsur hilang karena ada hasrat seksualitas yang sudah mulai tumbuh di dalamnya.Â
Seketika kita menjadi posesif, sensitif, dan menuntut perhatian lebih dari biasanya. Isi sharing yang biasanya tentang apa saja berubah menjadi lebih kecil ruang lingkupnya. Kita jadi tidak mau mendengar dia menceritakan apa pun yang dia mau, dia harus menjaga perasaan kita, dia nggak bisa senorak dulu dan lainnya. Rasanya tiba-tiba ada sekat-sekat dalam hubungan persahabatan ini.Â
Beruntung jika dia merasakan hal yang sama. Tapi bagaimana jika tidak? Terpaksa kita harus memendam rasa itu sendirian. Menahan hasrat diri untuk tidak jatuh cinta pasti lebih sulit dari pada menahan rasa lapar. Tapi hidup adalah pilihan, siapa pun berhak mengambil keputusan atas dirinya sendiri. Asal jangan lupa, bahwa tetap ada hal-hal yang mesti diperhatikan. Boleh menjadi diri sendiri tapi jangan memaksakan kehendak agar orang lain sepakat.Â
Lalu, kamu mau menjalani platonic love atau romantic love?
Salam sayang,
Ajeng Leodita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H