Bagimana pun usaha saya dan sahabat saya sampai mati-matian menunjukkan bahwa hubungan kami tidak akan lebih dari itu tapi bagaimana jika istrinya tidak suka? Apa kami harus memaksakan kehendak? Tentu tidak, dong! Dalam hal apapun kode etik tetap ada. Jangan selalu mengatasnamakan persahabatan tapi menyakiti orang yang juga mengharapkan diri kita seutuhnya.
Dalam hubungan platonis ada kondisi yang disebut womance yaitu ikatan platonic love antara dua wanita. Apakah saya mengalaminya? Tentu saja.Â
Inisialnya SM. Mulanya kami kenal karena sama-sama giat menulis fiksi di blog keroyokan tercinta ini. Sebenarnya, saya agak pemilih untuk bisa dekat dengan sesama perempuan, karena saya punya kriteria tersendiri untuk bisa menganggapnya sebagai teman dekat, minimal kami harus satu frekuensi, sama-sama nggak jaim, dan punya pola pikir di luar kebiasaan kaum kami.Â
Saya nggak bisa bersahabat dengan cewek yang hobinya mengeluh, over sensitive, over thinking dan cengeng. Satu-satunya alasan saya mau bersahabat dengan SM ini karena saya kagum dengan kemandiriannya.Â
Sejak usia belasan tahun dia sudah hijrah dari Cirebon ke Denpasar dan membiayai dirinya sendiri, mulai dari hidup, kuliah, hingga menikah. Darinya saya belajar banyak tentang bagaimana selayaknya memandang hidup sebagai anak sulung yang menjadi harapan orang tua. Saya sungguh kagum dengan kepribadiannya.Â
Walau persahabatan kami baru menginjak hampir 13 tahun, tapi saya seakan sudah mengenalnya puluhan tahun. Kami seperti memiliki telepati.Â
Jika saya memiliki masalah, maka ia akan muncul dengan sendirinya tanpa diminta. Kemudian dia akan menanyakan apakah kondisi saya baik-baik saja atau tidak. Begitu pun yang saya lakukan padanya. Kami seakan saling mengisi. Ada hal yang tidak bisa saya ceritakan pada sahabat-sahabat cowok, saya bisa sampaikan ke SM. Makanya saya nggak punya banyak sahabat cewek sejak dulu. Saya merasa satu orang ini saja lebih dari cukup.Â
Tahun ke tahun sahabat saya hanya itu-itu saja. Tapi itu tidak jadi masalah, saya akan melakukannya selama saya merasa nyaman melakukannya.
Perbedaan yang saya rasakan berteman dengan cewek dibandingkan cowok adalah saat sesi curhat berlangsung, kami butuh waktu yang agak lebih lama untuk saling menguatkan, biasanya diawali dengan menangis bersama, berusaha merasakan apa yang dia rasakan, kemudian sama-sama mencari solusi atas apa yang sedang terjadi. Apa hal itu seperti membuang banyak waktu? Tidak juga, hanya rasanya dalam menyelesaikan satu masalah, progress terasa lebih lambat jalannya. Walaupun begitu, saya menikmati tiap prosesnya.
Kembali lagi ke soal persahabatan dengan lawan jenis, apa mungkin bisa terjadi hal-hal di luar kewaspadaan kita?Â
Contoh kasus, tiba-tiba akhirnya jadi jatuh cinta pada sahabat kita sendiri? Wallahualam bish-shawab, hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, karena bagaimana pun kita berencana tetap Allah yang menentukan. Tapi jika hal itu benar terjadi, jelas hubungan itu sudah bergeser makna dari platonic love menjadi romantic love. Hal yang menjadi unsur-unsur dalam platonic love berangsur hilang karena ada hasrat seksualitas yang sudah mulai tumbuh di dalamnya.Â