Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Horor Artikel Utama

Ruangan yang Tak Pernah Boleh Dibuka

12 Juni 2023   01:29 Diperbarui: 15 Juni 2023   21:02 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat usiaku 7 tahun mendengar cerita nenek tentang salah satu kamar di lantai 3 rumahnya. Ruangan yang tak pernah boleh dibuka oleh siapapun. 

Nenek memvisualisasikannya: ruangan yang tak punya pencahayaan yang cukup, pengap, lembab, dan tak pernah berpenghuni. 

Namun, belakangan aku baru tahu bahwa itu semata-mata dilakukan nenek hanya agar aku tak mengacak-acak ruangan tempatnya menyimpan barang-barang berharga. 

Salah satunya adalah sebuah lukisan yang mendiang kakekku berikan saat melamarnya. Kakek melukis nenek saat mereka berdua menghabiskan waktu di Weymouth Beach. 

Mungkin, nenek berandai-andai jika lukisan itu bisa saja dicuri seperti Poppy Flowers milik Vincent van Gogh atau Waterloo Bridge milik Monet. 

Jika saja aku tak ingat wajah ibuku jika aku meledek nenek, pasti aku akan bilang, "Tidak akan ada yang berani mengambil lukisan itu, karena mereka takut dengan wajah perempuan yang ada di sana."

Saat usiaku 15 tahun, aku mendengar cerita Ibu tentang sebuah kamar yang tak pernah boleh dibuka oleh siapapun. 

Kata Ibu di dalamnya ada sesuatu yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang, namun bisa membuatku lari terkecing-kencing jika sosok itu menunjukkan diri. 

Namun, belakangan aku baru tahu bahwa Ibu menceritakan itu semata-mata agar aku tak mencoba alat-alat make up-nya yang nilainya setengah dari gaji ayahku yang ia simpan dalam kamar itu. Saat aku mengetahui kebenarannya, ibu hanya mengatakan, barang-barang itu berharga.

Saat berusia 21 tahun, aku mendengar cerita Laura, sahabatku, tentang salah satu ruang di rumahnya -yang letaknya tepat di bawah tangga- yang tak pernah dimasuki siapapun. Ibunya bilang kuncinya hilang. 

Jika berpikir dengan logika sesulit apa mengganti kunci yang hilang? Cukup hubungi juru kunci untuk datang dan membuatkan penggantinya. Sederhana. 

Namun, Laura, temanku yang bodoh dan pengecut itu tak pernah berani berkonfrontasi dengan orang tuanya. Ia selalu berkata "ya" untuk setiap hal yang terucap dari bibir ibunya. 

Kukatakan pada Laura bahwa mungkin ibunya menyimpan pacar cadangannya di dalam sana. Saat itu Laura hanya terkekeh. Ia katakan ibunya bukan tipikal wanita sebrengsek itu. 

Aku tak bisa menampiknya, aku mengenal nyonya Louisa dengan baik. Ia penganut Katolik yang taat. Aku menganggap Laura dan Ibunya seperti keluarga sendiri, begitu pun mereka terhadapku.

Aku dan Laura pernah berbincang tentang keheranan kami pada orang dewasa yang merasa perlu memiliki ruangan yang hanya bisa dibuka oleh mereka sendiri. 

Toh, apapun yang ada di dalamnya tak akan mereka bawa mati, lantas mengapa terlalu merahasiakannya bahkan pada anak sendiri? Seposesif itukah para orang dewasa pada barang-barang berharga milik mereka?

Aku membawa cerita-cerita tentang ruang rahasia itu hingga aku menikah. Lima tahun aku hidup bersama dengan seseorang bernama Egidio. Sejujurnya dia adalah cinta pertamaku. 

Aku hanya ingin dunianya adalah aku. Sampai suatu ketika aku muak dan tak bisa lagi menahan emosi. Egidio ternyata sering mendatangi Be At One Greek Street, salah satu klub malam di area Greek St, London, bersama seseorang. Bahkan yang lebih menyakitkan, wanita itu adalah Laura. Ya, Laura, sahabatku.

Beberapa malam setelah aku mengetahui fakta itu, aku masih mencoba tenang. Ku undang Laura datang ke hunian kami, lalu memasak beberapa makanan istimewa yang kubisa. 

Aku mencoba menemukan gestur spesial antara suamiku dengan Laura, namun sepertinya mereka sangat pandai menyembunyikannya.

Sepanjang makan malam, aku terus mengatur napasku agar terlihat tetap tenang di hadapan keduanya.

Dua jam berlalu, suami dan sahabatku terlihat mulai mengantuk. Ya, obat tidur itu bekerja dengan baik. Setelah kupastikan mereka sudah benar-benar tak sadar, aku bergegas menarik satu per satu tubuh mereka ke gudang belakang tempat Egi biasa menyimpan peralatan olahraganya. 

Tanpa ingin menghabiskan banyak waktu, sebuah dumbell sukses mengantarkan keduanya menuju neraka, lalu kutaburkan banyak sekali bubuk kopi untuk meredam aroma bangkai dua manusia terkutuk itu. 

Sebelum pintu gudang kukunci, masih sempat kubisikkan sesuatu di telinga Laura, "Akhirnya kita tahu alasan mengapa orang dewasa selalu punya kamar yang hanya boleh dibuka oleh mereka sendiri."

Sekarang aku pun punya kamar yang tak boleh dibuka siapapun, bukankah Egi dan Laura juga berharga untukku?

-selesai-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun