Kami pun tidak pernah dibelikan pakaian saat lebaran. Apa yang ada, itu yang dipakai. Tapi sebagai anak kami mengerti, karena ayah dan ibu sudah memberi pemahaman itu sejak awal. Kami diajak bicara tentang pekerjaan ayah apa kelebihan dan kekurangannya.
Sampai akhirnya setelah gejolak krisis moneter di 1998 di mana ayah saya berusaha bertahan namun pada awal tahun 2000an beliau pun menyerah, bisnisnya bangkrut. Semua aset yang kami punya dijual. Bahkan hampir saja saya keluar dari sekolah karena ayah saya sama sekali tidak ada pemasukan.
Jadi kami tidak kaget jika ayah tak punya uang. Mental kami benar-benar siap menghadapi itu. Ibu adalah story teller terbaik di mata kami. Melalui gaya penuturannya kami dibuat paham sejak dini hingga saat ini.
Kembali lagi ke inti pembahasan. Melihat sederet kasus kriminal yang dilakukan anak di bawah umur, apa masih pantas jika mereka tetap dianggap anak-anak? Sehingga hukuman mereka pun diringankan? Dengan lantang saya katakan, "Tidak!"
Yang mereka lakukan adalah kejahatan yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa. Dan saya yakin mereka sudah tahu apa efek yang muncul bagi korban dan keluarganya. Jika orang tua sudah berusaha melakukan yang terbaik versi masing-masing, bagaimana langkah pemerintah?
Ini yang menjadi harapan besar saya, pemerintah ikut andil dalam mendidik anak-anak bangsa. Caranya mungkin dengan merevisi isi Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) baik dari sisi hukuman yang dijatuhkan atau saat proses-proses selama menjelang persidangan yang poin-poinnya saya rasa masih sangat menguntungkan pelaku.
Mungkin juga bisa pihak kepolisian RI menjadwalkan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk memberikan informasi dan penyuluhan secara berkala, sehingga anak-anak itu lebih punya pandangan baik dan sama sekali tidak ingin melakukan tindak kejahatan. Atau mungkin memberi kesempatan pada anak-anak sekolah untuk datang ke Lembaga Pemasyarakatan. Supaya mereka bisa melihat kondisi di dalam sana.
Banyak cara yang bisa sama-sama kita lakukan untuk mendidik anak-anak. Kerjasama antara masyarakat sipil dan pemerintah diharapkan bisa bersinergi, sehingga bisa menekan bertambahnya masalah-masalah hukum yang menjerat anak-anak di bawah umur. Tapi kembali lagi, jangan lupakan penyertaan Tuhan dalam setiap apapun yang kita lakukan.Â
FYI, tulisan ini sekadar sharing dari kacamata seorang ibu, bukan dari pengamat anak apalagi pengamat hukum.Â
Salam sayang,
Ajeng Leodita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H