Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Yang di Bawah Umur Cuma Usia, Bukan Mentalnya

4 April 2023   20:50 Diperbarui: 5 April 2023   08:55 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kenakalan remaja (Sumber: shutterstock)

"Jadilah anak yang baik, berguna bagi kedua orang tua, nusa bangsa dan agama."

Setiap dari kita pasti familiar dengan kalimat itu. Baik kita yang mendapatkan doa dan harapan itu, maupun kita yang menyampaikannya pada mereka yang dianggap layak menerimanya. Entah itu anak kita sendiri maupun anak orang lain. Kalimat sederhana yang diharapkan bisa menjadi trigger positif bagi yang menerima.

Namun, setelah melihat ragam berita kriminalitas yang bisa dilihat secara online rasanya ungkapan itu sesuai dengan peribahasa Jauh panggang dari api. Semuanya meleset. 

Beberapa tahun belakangan kasus kriminal diisi dengan kehadiran anak-anak di bawah umur sebagai si pelaku. Adapun kasus yang melibatkan mereka diantaranya:

  • Curanmor di Mojokerto (September -- 2021)
  • Pencabulan dan pembunuhan bocah di Bandung (November -- 2021)
  • Jasa prostitusi yang dilakukan oknum siswi di Bali (Desember -- 2021)
  • Pembunuhan anggota Polisi di Denpasar, Bali. (November -- 2022)
  • Aksi pengeroyokan pelajar di Yogyakarta (Maret - 2023)
  • Penjual Narkoba berusia 15 tahun dan anak seorang pedangdut Indonesia (Maret -- 2023)
  • Persenggamaan dua bocah SMK digrebek warga di Pandeglang (April 2023)

Miris, hampir di semua pasal kejahatan ada keterlibatan anak-anak di bawah umur. Apa dan siapa sebenarnya yang menjadi pemicu hingga para remaja ini melakukan tindakan kriminal itu?

Saya sering membaca komentar warganet mengenai hal ini. Mayoritas dari mereka sibuk menyalahkan pola asuh orang tua si pelaku. 

Orang tua dianggap tidak memperhatikan perkembangan si anak dan sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan sampai  ada yang mempertanyakan soal agama dan keyakinan si pelaku. 

Pertanyaan yang mengikutinya, mengapa tak takut pada agama? Kenapa tak takut pada Tuhannya? 

Tak ayal, guru dan pihak sekolah tempat para pelaku ini menimba ilmu pun masuk dalam sasaran, dianggap tidak mendidik murid-muridnya dengan baik. Dianggap hanya makan gaji buta. Tapi mohon jangan diabaikan keberadaan lingkungan di luar rumah dan sekolah yang juga bisa membentuk watak dan mental anak-anak. Justru kebanyakan tindakan kriminal terjadi karena pengaruh dari sana.

hukumonline.com
hukumonline.com

Budaya flexing yang saat ini marak di media sosial juga dianggap membawa dampak buruk bagi yang menonton. 

Rasa ingin menjadi sosok yang mereka tonton seakan menjadi hal paling penting dalam hidup. Menerima kondisi orang tua, tidak bisa. Meminta pada orang tua, tidak mungkin. Mau bekerja, masih di bawah umur. Mau membuka usaha, modal tak punya. Karena banyaknya keterbatasan yang ada, tujuan mereka malah jadi menyimpang. Yang ada di kepala hanya bagaimana di usia belasan tahun sudah bisa menghasilkan uang, tanpa berpikir prosesnya baik atau buruk. 

Banyak keterangan dari orang tua pelaku yang katanya tidak menyangka anaknya sampai melakukan hal itu, karena di rumah sepertinya pelaku tetap sosok anak yang baik.

Pergaulan di luar sekolah biasanya menjadi pemicu paling dominan adanya tindak kriminal ini. Mungkin dari melihat temannya yang melakukan lebih dulu, atau bisa jadi justru karena diajak, atau malah dijadikan kelinci percobaan.

Lantas apa yang sebaiknya dilakukan oleh kita sebagai orang tua? Ini versi saya, ya. 

1. Sering mengajak anak bicara

Jangan hanya ajak mereka bicara saat mereka ketahuan bermasalah, tapi biasakan ajak mereka ngobrol hati ke hati minimal 1 jam per hari. 

Berbagi pengalaman baik saat kita muda, sehingga mereka punya rasa ingin mengikuti hal-hal baik yang kita lakukan sejak saat seusia mereka. 

Jangan hanya memberi nasihat, tapi dengarkan keluhan mereka, pun itu keluhan tentang kita sebagai orang tua.  Jangan membiasakan diri menjadi orang tua anti kritik.

2. Mengenal dunianya di luar rumah

Jangan sekadar tahu lokasi di mana mereka main atau nongkrong di luar jam sekolah. Tapi cari tahu dengan siapa mereka bergaul, ajak teman-temannya berkenalan. 

Kemudian cari tahu juga alasan-alasan yang melatarbelakangi kenapa mereka bisa saling kenal. Aktivitas apa saja yang mereka lakukan tiap kali bertemu.

3. Pembelajaran tentang seks

Masih banyak di antara orang tua yang merasa pembahasan tentang hal satu ini sangat tabu. Tapi saya pribadi memilih menjadi orang tua yang lebih informatif dari pada anak-anak saya merasa penasaran dan justru mencari tahu dari dunia luar. 

Kita bisa saja tidak tahu pada siapa mereka "berguru". Bisa jadi orang tersebut justru memberikan pendalaman materi yang justru memancing anak kita untuk melakukannya

4. Terbuka soal kondisi keuangan

Kebanyakan orang tua selalu berusaha mengabulkan apapun permintaan anak. Walaupun sampai mati-matian melakukannya. Hanya mengejar sebuah alasan "Supaya mereka bahagia". Tapi hal-hal semacam itu justru membuat anak tidak bisa mengetahui kondisi orang tua yang sebenarnya. 

Sepertinya masih jarang orang tua yang memberikan pemahaman pada anak mereka tentang kondisi mereka yang sebenarnya. Sehingga anak menjadi tidak siap menerima orang tua dengan apa adanya. Hal itu kemudian menjadi boomerang untuk orang tua itu sendiri. 

Saya pribadi punya pengalaman tentang "Menerima dan memahami kondisi orang tua".

Sejak tahun 80an ayah saya adalah seorang pengimpor besi dari beberapa negara. Namun dalam bisnis ekspor impor tidak ada yang namanya hari libur. Ayah saya mengajak kami liburan justru di hari sekolah. Makanya jaman itu saya dan adik-adik sering ijin tidak masuk sekolah. Karena tidak adanya hari libur, dampaknya pun pada pola keuangan ayah saya. 

Saat orang-orang punya banyak uang di hari raya, atau di perayaan akhir tahun, ayah saya justru sedang tak punya uang, dan benar-benar tidak punya uang. 

Jadi saya tidak boleh iri jika saat liburan sekolah selesai, kembali masuk sekolah, saya hanya jadi pendengar cerita-cerita dari teman-teman saya. Karena saya dan adik benar-benar tidak punya hal yang bisa kami bagi.

Kami pun tidak pernah dibelikan pakaian saat lebaran. Apa yang ada, itu yang dipakai. Tapi sebagai anak kami mengerti, karena ayah dan ibu sudah memberi pemahaman itu sejak awal. Kami diajak bicara tentang pekerjaan ayah apa kelebihan dan kekurangannya.

Sampai akhirnya setelah gejolak krisis moneter di 1998 di mana ayah saya berusaha bertahan namun pada awal tahun 2000an beliau pun menyerah, bisnisnya bangkrut. Semua aset yang kami punya dijual. Bahkan hampir saja saya keluar dari sekolah karena ayah saya sama sekali tidak ada pemasukan.

Jadi kami tidak kaget jika ayah tak punya uang. Mental kami benar-benar siap menghadapi itu. Ibu adalah story teller terbaik di mata kami. Melalui gaya penuturannya kami dibuat paham sejak dini hingga saat ini.

Kembali lagi ke inti pembahasan. Melihat sederet kasus kriminal yang dilakukan anak di bawah umur, apa masih pantas jika mereka tetap dianggap anak-anak? Sehingga hukuman mereka pun diringankan? Dengan lantang saya katakan, "Tidak!"

Yang mereka lakukan adalah kejahatan yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa. Dan saya yakin mereka sudah tahu apa efek yang muncul bagi korban dan keluarganya. Jika orang tua sudah berusaha melakukan yang terbaik versi masing-masing, bagaimana langkah pemerintah?

Ini yang menjadi harapan besar saya, pemerintah ikut andil dalam mendidik anak-anak bangsa. Caranya mungkin dengan merevisi isi Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) baik dari sisi hukuman yang dijatuhkan atau saat proses-proses selama menjelang persidangan yang poin-poinnya saya rasa masih sangat menguntungkan pelaku.

Mungkin juga bisa pihak kepolisian RI menjadwalkan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk memberikan informasi dan penyuluhan secara berkala, sehingga anak-anak itu lebih punya pandangan baik dan sama sekali tidak ingin melakukan tindak kejahatan. Atau mungkin memberi kesempatan pada anak-anak sekolah untuk datang ke Lembaga Pemasyarakatan. Supaya mereka bisa melihat kondisi di dalam sana.

Banyak cara yang bisa sama-sama kita lakukan untuk mendidik anak-anak. Kerjasama antara masyarakat sipil dan pemerintah diharapkan bisa bersinergi, sehingga bisa menekan bertambahnya masalah-masalah hukum yang menjerat anak-anak di bawah umur. Tapi kembali lagi, jangan lupakan penyertaan Tuhan dalam setiap apapun yang kita lakukan. 

FYI, tulisan ini sekadar sharing dari kacamata seorang ibu, bukan dari pengamat anak apalagi pengamat hukum. 

Salam sayang,
Ajeng Leodita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun