Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Wawancara

1 Desember 2022   16:37 Diperbarui: 1 Desember 2022   16:45 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.wallpaperbetter.com/

Jumat adalah hari yang dinantikan hampir semua karyawan kantoran. Mereka akan pulang tepat waktu atau satu jam lebih cepat dari biasanya. Sama halnya dengan Diana, biasanya saat waktu menunjukkan hampir pukul lima sore, ia bersama yang lainnya pasti sudah menutup laptop dan berkerumun di depan pintu keluar. Namun, setelah dipromosikan menjadi Assistant Human Resource Manager, Jumat atau hari lainnya terasa sama saja, ia tidak bisa bergerak dari kursinya. Seperti hari ini, Diana masih harus me-review application form yang sudah diisi belasan pelamar yang hari ini datang memenuhi panggilan wawancara, padahal suasana di kantor sudah sangat sepi, yang tersisa hanya Diana, dua orang office boy dan tiga orang security yang berpencar di tempat jaga masing-masing.

"Belum pulang, Bu?" Tanya Suko, office boy yang bekerja di kantor ini sejak dua tahun yang lalu.

"Duh, kamu bikin kaget. Hampir selesai kok. Oh, ya, saya minta kopi nanti antar aja ke taman. Saya mau duduk-duduk di sana dulu. Sesak juga lama-lama di dalam,"

Suko mengangguk menerima perintah pimpinan.

Lembar terakhir pun selesai diperiksa, Diana merapikan meja kerjanya, lalu bergegas menuju taman belakang. Matanya menyapu pemandangan di sekelilingnya dan berhenti pada seorang laki-laki yang duduk sendirian. Seharusnya di jam-jam seperti ini sudah tak ada lagi tamu yang boleh berkeliaran kecuali punya urusan dengan salah satu staff yang ada.

Diana berusaha mengingat-ingat wajah itu. Walau lupa namanya namun akhirnya ia mengenalinya, pria yang beberapa jam lalu ia wawancara.

"Hai, masih di sini?" Sapa Diana ramah.

"Iya, Bu." Balas pria itu dengan wajah sedikit murung.

"Kenapa belum pulang? Hasilnya masih tiga hari lagi, loh. Masa mau nginap di sini?" Canda Diana yang diiringi tawa renyah berusaha mencairkan suasana agar sedikit mengubah ekspresi lawan bicaranya.

Suko muncul membawa secangkir kopi pesanan Diana saat masih dalam ruangannya tadi. Ia memberi kode agar Suko membuatkan secangkir lagi untuk pelamar kerja ini.

"Satu lagi, Bu?" tanya Suko sembari mengernyitkan keningnya.

"Udah sana buat, jangan lama-lama ya, Ko."

Lagi-lagi Suko hanya bisa mengikuti perintah atasannya.

Diana berpikir mungkin Suko bingung karena tak biasanya ia minta dibuatkan kopi untuk pelamar bahkan di jam-jam seperti ini.

Diana kemudian mengulang lagi pertanyaannya pada pelamar di hadapannya.

"Saya nggak bisa pulang," Jawab pria itu lesu. Sama lesunya seperti saat wawancara siang tadi.

Notifikasi pesan singkat masuk berbunyi di ponsel Diana, pamannya mengingatkan bahwa malam ini ada kumpul keluarga dan hanya Diana yang belum muncul di sana. Sebenarnya Diana masih ingin berbincang-bincang setelah yakin bahwa pelamar yang satu ini terlihat agak berbeda. Di antara para pelamar hari ini, sepertinya dia yang termuda dari yang lainnya.

"Maaf, saya harus pulang sekarang. Oh, ya, siapa namanya tadi, Mas? Mungkin nanti bisa saya review lagi hasil psikotes dan applicant form-nya untuk jadi bahan pertimbangan,"

"Anugerah Agung, Bu,"

"Ok, Mas Anugerah, saya duluan, ya. Nanti ada office boy saya yang tadi antar kopi, diminum aja, atau kalau mau teh, silakan. Tapi, jangan lama-lama di sini, ada aturan jam kunjungan di kantor ini."

Kemudian Diana mengajak pria itu bersalaman untuk yang kedua kali di hari yang sama. Pertama sebagai salam perkenalan, dan yang kedua sebagai salam perpisahan. Tangan itu begitu dingin, layaknya seseorang yang mengalami grogi tingkat tinggi.

Di sepanjang perjalanan pulang, Diana tak bisa menepiskan pikiran tentang pria muda itu. Namun, rasanya tidak bijak jika ia menerimanya lantaran kasihan. Terlihat jelas pria itu tidak dalam keadaan baik-baik saja. Diana menarik napas dalam-dalam, membiarkan oksigen masuk dan membuat isi kepalanya sedikit lebih ringan.

*

Dua hari berlalu, Diana pun memutuskan akan menerima Anugerah sebagai karyawan baru. Bukan karena kasihan, namun nilai-nilai akademisnya patut dipertimbangankan dan Diana ingin memberikan kesempatan. Sejak pagi hingga sore hari Diana belum berhasil menghubungi Anugerah, nomornya tidak aktif.

Hingga waktunya pulang kantor, Diana pun memutuskan untuk menghubungi nomor keluarga yang dicantumkan.
Diana duduk di kursi taman, menimbang-nimbang apakah pantas menghubungi seseorang menjelang malam seperti ini.

"Nunggu siapa, Bu? Dari tadi kayak gelisah," Suko seketika muncul tanpa disadari, ia membawa nampan berisi dua cangkir kopi kemudian meletakkannya di meja.

"Kamu ingat tiga malam lalu saya ngobrol di sini sama pria muda? Dia pelamar kerja, saya hubungi dia sejak pagi nggak bisa-bisa,"

"Yang mana ya, Bu?" Suko menggaruk kepalanya kebingungan.

"Waktu itu saya minta kamu buatkan satu kopi lagi untuk dia. Tapi akhirnya saya buru-buru pulang. Ingat?" tanya Diana lagi sambil jari-jarinya menekan nomor telepon rumah Anugerah.

"Loh, waktu itu Ibu sendiri. Makanya saya bingung kok Ibu minta saya buatin kopi lagi, padahal kopi yang pertama saja baru saya antar. Saya pikir Ibu suka kopi buatan saya. Ini makanya saya buatin dua cangkir sekalian, biar sama kayak kemarin," seloroh Suko.

Nomor telepon rumah Anugerah yang dihubungi Diana pun akhirnya tersambung. Terlihat dari gesturnya, Diana meminta Suko untuk meninggalkannya sendiri.

"Selamat malam, benar ini rumah keluarga dari Anugerah Agung?"

"Iya, benar. Maaf dengan siapa?" suara seorang perempuan terdengar dari ujung sambungan telepon.

"Saya Diana dari PT. Gempita Cahaya, bisa saya disambungkan dengan Mas Anugerah?"

Belum mendapat jawaban dari perempuan itu, Diana melihat kedatangan Anugerah yang berjalan pelan ke arahnya, namun Diana tak langsung begitu saja menutup sambungan teleponnya. Dengan gerakan tangannya ia meminta pria itu duduk dulu sebelum ia memberi tahu pada keluarga Anugerah bahwa yang dicari sudah di depan mata.

"Ini yang panggilan kerja dua hari lalu, ya, Bu?"

"Iya, benar. Eh, tapi begini, Mbak ...," Diana berniat ingin menyudahi pembicaraan mereka, namun perempuan itu menyela kalimatnya.

"Maaf, Bu, adik saya nggak datang memenuhi panggilan, dia kecelakaan saat mau berangkat interview. Motornya oleng, dia jatuh lalu dilindas truk, meninggal di tempat."

Tubuh Diana lemas seketika. Rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Anugerah Agung itu kini ada di depan mata, namun wajahnya tak lagi menunjukkan kesedihan, ia tersenyum sumringah, bahkan terlihat mengerikan.

"Bagaimana, Bu Diana? Apa saya diterima?"

------------------------- Selesai --------------------------------

Bekasi, 

1 Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun