*
Dua hari berlalu, Diana pun memutuskan akan menerima Anugerah sebagai karyawan baru. Bukan karena kasihan, namun nilai-nilai akademisnya patut dipertimbangankan dan Diana ingin memberikan kesempatan. Sejak pagi hingga sore hari Diana belum berhasil menghubungi Anugerah, nomornya tidak aktif.
Hingga waktunya pulang kantor, Diana pun memutuskan untuk menghubungi nomor keluarga yang dicantumkan.
Diana duduk di kursi taman, menimbang-nimbang apakah pantas menghubungi seseorang menjelang malam seperti ini.
"Nunggu siapa, Bu? Dari tadi kayak gelisah," Suko seketika muncul tanpa disadari, ia membawa nampan berisi dua cangkir kopi kemudian meletakkannya di meja.
"Kamu ingat tiga malam lalu saya ngobrol di sini sama pria muda? Dia pelamar kerja, saya hubungi dia sejak pagi nggak bisa-bisa,"
"Yang mana ya, Bu?" Suko menggaruk kepalanya kebingungan.
"Waktu itu saya minta kamu buatkan satu kopi lagi untuk dia. Tapi akhirnya saya buru-buru pulang. Ingat?" tanya Diana lagi sambil jari-jarinya menekan nomor telepon rumah Anugerah.
"Loh, waktu itu Ibu sendiri. Makanya saya bingung kok Ibu minta saya buatin kopi lagi, padahal kopi yang pertama saja baru saya antar. Saya pikir Ibu suka kopi buatan saya. Ini makanya saya buatin dua cangkir sekalian, biar sama kayak kemarin," seloroh Suko.
Nomor telepon rumah Anugerah yang dihubungi Diana pun akhirnya tersambung. Terlihat dari gesturnya, Diana meminta Suko untuk meninggalkannya sendiri.
"Selamat malam, benar ini rumah keluarga dari Anugerah Agung?"
"Iya, benar. Maaf dengan siapa?" suara seorang perempuan terdengar dari ujung sambungan telepon.