Lima  tahun lalu kami sekeluarga memutuskan pindah ke rumah baru. Mencari peruntungan yang lebih baik, kata ibu.
Sejujurnya aku tidak terlalu percaya dengan konsep itu. Aku meyakini bahwa rejeki sudah diatur oleh Tuhan ke masing-masing hambanya.
Perumahan ini terbilang lengang, penghuninya rata-rata sudah paruh baya. Dalam waktu hanya dua minggu ibuku sudah terlihat akrab dengan tetangga samping kanan kiri dan belakang. Tetangga depan? Ada. Hanya saja orangnya jarang mau bercengkerama.
Namanya pak Suroso. nampaknya beliau tinggal seorang diri, karena aku tak pernah melihat ada orang lain selain dirinya yang keluar masuk rumah bercat hijau itu.Â
Usianya kutaksir sekitar 70 tahunan. Sekalipun tak lagi muda, perawakannya yang besar tetap tegap. Dengar -- dengar beliau adalah seorang pensiunan TNI.
Tak hanya dengan keluargaku, dengan tetangga lain yang lebih lama tinggal di sini pun pak Suroso tak banyak berbasa basi.
Tiba saatnya di bulan Agustus, kami mendapat imbauan dari ketua RT untuk memasang bendera merah -- putih sepanjang bulan ini. Aku ikut membantu para tetangga yang sudah lansia. Minimal sebagai anak muda aku agak bermanfaat di mata mereka.
Ku pikir ini waktu yang tepat untuk membuka obrolan dengan pak Suroso. Aku melihatnya duduk sendiri di teras sambil mengikat bendera pada batang bambu berdebu.
"Assalammualaikum, pak Suroso, saya bantu, ya?" tawarku.
Ia sedikit mengangkat kepalanya yang agak menunduk. Melempar senyum yang baru pertama kali kulihat.
"Waalaikumsalam, masuk, Nak." Ajaknya.
Aku mendekati pak Suroso, ternyata beliau tak menyeramkan seperti dugaan.
"Sepertinya ini harus dibersihkan dulu bambunya, Pak. Sudah kotor."Â
"Ndak apa-apa, Nak. Negeri ini pun sudah kotor. Merah putih terus berkibar di negeri yang kotor."
Aku terhenyak dengan sepatah kalimatnya. Secara tidak sadar batinku pun mengiyakan ungkapan itu.
Pak Suroso menyandarkan bambu di tembok, kemudian mengeluarkan sebatang kretek dari saku kemejanya.
"Kamu merokok, Nak?'
"Sudah tidak, Pak. Pernah ada infeksi paru-paru. Saya kasihan sama ibu kalau sampai kenapa-kenapa. Nanti ibu nggak ada yang jaga." Jawabku.
"Bagus, anak laki-laki harus menjaga ibunya. Begitu lazimnya. Sayangnya banyak anak negeri ini yang ndak menjaga ibu pertiwi. Justru mereka yang menggerus usia ibunya agar cepat mati."
Lagi-lagi aku setuju.
Diam-diam aku melihat sorot mata pak Suroso yang seakan menyimpan banyak duka. Namun aku tak berani bertanya terlalu dalam. Bisa berinteraksi sesederhana ini saja rasanya cukup menyenangkan.
Tapi aku tak perlu mengorek banyak cerita, Pak Suroso begitu terbuka menceritakan kisah hidupnya.
Beliau tinggal seorang diri, anak dan istrinya meninggal dunia hanya selang beberapa bulan saja. Anaknya adalah salah satu korban tragedi Trisakti. Salah satu pendemo yang diberi dukungan penuh oleh ayahnya dalam menyuarakan kebenaran. Nahasnya, setelah kematian sang anak, istrinya mulai sakit-sakitan karena kehilangan anak satu-satunya. Selang tiga bulan kemudian, istrinya pun berpulang.
Sekalipun tak berkaca-kaca, aku bisa mendengar suaranya bergetar. Menahan emosi luar biasa.
Aku pamit sebentar untuk pulang, sepertinya perbincangan ini akan panjang, ku buatkan 2 cangkir kopi dari rumah untuk sore kami yang indah.
"Loh, kok malah tamunya yang bawa kopi?"
"Nggak apa-apa, Pak. Kebetulan saya punya kopi Lombok, kiriman dari teman."
Pak Suroso menyeruput kopinya, kemudian kembali menghisap kreteknya dalam-dalam seraya mengembuskan kepulan-kepulan asap tipis.
"Orang tua mana yang mau mengorbankan anaknya, tapi saat itu saya ndak berpikir demonya akan jadi anarkis. Kalau saja saya bukan TNI mungkin saya ada di barisan Randu dan rekan-rekannya di sana.
Kondisi yang tidak kondusif membuat kami harus menembakkan gas air mata ke para pendemo. Memang salahnya beberapa rekan aparat mengejek para mahasiswa yang sebenarnya sudah bergerak mundur saat itu.
Kamu tahu rasanya harus melawan anak sendiri? Sakit. Ada rekan saya yang mengenali Randu, ia menyarankan agar saya menyuruh Randu pulang. Tapi saya ndak mau, Randu ke sini bukan karena paksakan. Randu sudah dewasa, dia siap dengan segala konsekuensi yang ada.
Randu sempat hilang dari kerumunan, ternyata ia menelepon ibunya di rumah, ia tahu ibunya pasti mengikuti berita di televisi dan khawatir dengan kondisinya. Randu bilang ndak ada yang perlu dikhawatirkan, kondisinya tidak menyeramkan seperti yang disiarkan. Ibunya terus berdoa untuk saya dan anaknya."
Pak Suroso menghentikan ceritanya sebentar, menarik napas panjang. Seperti melepaskan sedikit beban.
"Dua malam kami ndak pulang. Tapi saya ndak tahu dia dimana. Yang saya pahami banyak mahasiswa luka-luka bahkan sampai mati. Tapi waktu itu saya ndak tahu siapa-siapa saja korbannya. Ada yang bilang mahasiswa yang selamat menginap di kampus, dan yang meninggal atau luka-luka dibawa ke Sumber Waras. Saya menelepon istri, menanyakan apa Randu sudah menghubungi? Ternyata hanya satu kali. Saya sempat ijin pada pimpinan untuk pulang sebentar, bukan pulang ke rumah, melainkan mencari tahu keberadaan Randu, tapi permintaan saya ditolak. Cuma bisa berdoa dalam hati, kami berdua bisa pulang dengan selamat. Tapi sayangnya ndak dikabulkan, ternyata anak saya ndak baik-baik saja. Saya ndak tahu pelakunya siapa, saat itu kacau sekali di sana. Randu meninggal setelah dua minggu koma. Tapi dia ndak dikenal seperti korban yang tewas di hari-H."  Â
Pak Suroso membuang puntung rokoknya yang tinggal 1 senti. Menginjaknya beberapa kali agar baranya mati.
Ia berjalan ke bangunan kecil samping rumahnya, mengambil sehelai bendera dan sebatang bambu lagi.
Pak Suroso kembali duduk, bendera dipasangkan tapi hanya setengah tiang dan kembali disandarkan.
"Randu dan teman-temannya itu pahlawan. Pahlawan bagi bangsa ini juga pahlawan di hati orang tuanya. Dalam agama, anak hanya titipan Tuhan, sebagai orang tua kami hanya memiliki kewajiban untuk merawat dan membesarkannya. Itu sudah kami lakukan pada Randu. Dia itu begitu mencintai negeri ini. Ia berangkat ke Semanggi bukan untuk jadi pahlawan, Nak. Ia hanya mengikuti kata hatinya. Ia ingin suara mahasiswa didengar. Mahasiswa itu pendidikannya kan ndak cuma buat kerja, tho? Mahasiswa itu dlatih juga logikanya, kepekaannya, Mungkin, Tuhan merasa Randu sudah cukup menimba ilmu di dunia. Sebagai orang yang hanya menjadi tempat titipan, saya relakan Randu pergi, begitu pula dengan ibunya yang menyusul Randu. Mungkin Randu minta ditemani di sana, ya?"
Pak Suroso memintaku untuk mengikat dua tiang bendera itu di pagar rumahnya. Satu bendera untuk merayakan hari jadi kemerdekaan dan satu bendera setengah tiang untuk anak dan istrinya yang berpulang.
Benar kata ibu, rumah bisa jadi pembawa berkah dan peruntungan. Dengan pindah ke sini aku bisa kenal dengan pak Suroso dan mendapatkan asupan mental dari cerita tentang hidupnya. Aku bangga bisa mendengar bagaimana caranya beliau melihat bangsa ini dari kacamata seorang pensiunan TNI dan dari kacamata seorang ayah yang rela kehilangan anaknya demi negeri ini.
Dua tahun berlalu sejak senja yang Indah itu, bulan Agustus datang lagi. Aku masih di rumah ini, kembali mengikuti imbauan untuk memasang bendera merah putih. Hanya saja kini aku mengikuti jejak pak Suroso, memasang tak hanya satu bendera saja.Â
Sudah kusiapkan 2 tiang bendera berbahan bambu, satu untuk mengibarkan bendera penanda kemerdekaan dan satu bendera setengah tiang untuk mengenang Pak Suroso yang kini sudah berkumpul dengan anak dan istrinya di surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H