Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bendera Setengah Tiang

13 Agustus 2022   15:05 Diperbarui: 15 Agustus 2022   21:30 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bendera merah putih. (Foto: KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ) 

Pak Suroso menghentikan ceritanya sebentar, menarik napas panjang. Seperti melepaskan sedikit beban.

"Dua malam kami ndak pulang. Tapi saya ndak tahu dia dimana. Yang saya pahami banyak mahasiswa luka-luka bahkan sampai mati. Tapi waktu itu saya ndak tahu siapa-siapa saja korbannya. Ada yang bilang mahasiswa yang selamat menginap di kampus, dan yang meninggal atau luka-luka dibawa ke Sumber Waras. Saya menelepon istri, menanyakan apa Randu sudah menghubungi? Ternyata hanya satu kali. Saya sempat ijin pada pimpinan untuk pulang sebentar, bukan pulang ke rumah, melainkan mencari tahu keberadaan Randu, tapi permintaan saya ditolak. Cuma bisa berdoa dalam hati, kami berdua bisa pulang dengan selamat. Tapi sayangnya ndak dikabulkan, ternyata anak saya ndak baik-baik saja. Saya ndak tahu pelakunya siapa, saat itu kacau sekali di sana. Randu meninggal setelah dua minggu koma. Tapi dia ndak dikenal seperti korban yang tewas di hari-H."   

Pak Suroso membuang puntung rokoknya yang tinggal 1 senti. Menginjaknya beberapa kali agar baranya mati.

Ia berjalan ke bangunan kecil samping rumahnya, mengambil sehelai bendera dan sebatang bambu lagi.

Pak Suroso kembali duduk, bendera dipasangkan tapi hanya setengah tiang dan kembali disandarkan.

"Randu dan teman-temannya itu pahlawan. Pahlawan bagi bangsa ini juga pahlawan di hati orang tuanya. Dalam agama, anak hanya titipan Tuhan, sebagai orang tua kami hanya memiliki kewajiban untuk merawat dan membesarkannya. Itu sudah kami lakukan pada Randu. Dia itu begitu mencintai negeri ini. Ia berangkat ke Semanggi bukan untuk jadi pahlawan, Nak. Ia hanya mengikuti kata hatinya. Ia ingin suara mahasiswa didengar. Mahasiswa itu pendidikannya kan ndak cuma buat kerja, tho? Mahasiswa itu dlatih juga logikanya, kepekaannya, Mungkin, Tuhan merasa Randu sudah cukup menimba ilmu di dunia. Sebagai orang yang hanya menjadi tempat titipan, saya relakan Randu pergi, begitu pula dengan ibunya yang menyusul Randu. Mungkin Randu minta ditemani di sana, ya?"

Pak Suroso memintaku untuk mengikat dua tiang bendera itu di pagar rumahnya. Satu bendera untuk merayakan hari jadi kemerdekaan dan satu bendera setengah tiang untuk anak dan istrinya yang berpulang.

Benar kata ibu, rumah bisa jadi pembawa berkah dan peruntungan. Dengan pindah ke sini aku bisa kenal dengan pak Suroso dan mendapatkan asupan mental dari cerita tentang hidupnya. Aku bangga bisa mendengar bagaimana caranya beliau melihat bangsa ini dari kacamata seorang pensiunan TNI dan dari kacamata seorang ayah yang rela kehilangan anaknya demi negeri ini.

Dua tahun berlalu sejak senja yang Indah itu, bulan Agustus datang lagi. Aku masih di rumah ini, kembali mengikuti imbauan untuk memasang bendera merah putih. Hanya saja kini aku mengikuti jejak pak Suroso, memasang tak hanya satu bendera saja. 

Sudah kusiapkan 2 tiang bendera berbahan bambu, satu untuk mengibarkan bendera penanda kemerdekaan dan satu bendera setengah tiang untuk mengenang Pak Suroso yang kini sudah berkumpul dengan anak dan istrinya di surga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun