"Waalaikumsalam, masuk, Nak." Ajaknya.
Aku mendekati pak Suroso, ternyata beliau tak menyeramkan seperti dugaan.
"Sepertinya ini harus dibersihkan dulu bambunya, Pak. Sudah kotor."Â
"Ndak apa-apa, Nak. Negeri ini pun sudah kotor. Merah putih terus berkibar di negeri yang kotor."
Aku terhenyak dengan sepatah kalimatnya. Secara tidak sadar batinku pun mengiyakan ungkapan itu.
Pak Suroso menyandarkan bambu di tembok, kemudian mengeluarkan sebatang kretek dari saku kemejanya.
"Kamu merokok, Nak?'
"Sudah tidak, Pak. Pernah ada infeksi paru-paru. Saya kasihan sama ibu kalau sampai kenapa-kenapa. Nanti ibu nggak ada yang jaga." Jawabku.
"Bagus, anak laki-laki harus menjaga ibunya. Begitu lazimnya. Sayangnya banyak anak negeri ini yang ndak menjaga ibu pertiwi. Justru mereka yang menggerus usia ibunya agar cepat mati."
Lagi-lagi aku setuju.
Diam-diam aku melihat sorot mata pak Suroso yang seakan menyimpan banyak duka. Namun aku tak berani bertanya terlalu dalam. Bisa berinteraksi sesederhana ini saja rasanya cukup menyenangkan.