Situasi Awal
Nun jauh dari ibu kota Manggarai Timur, tepatnya di Pandang, desa Arus, Kecamatan Lamba Leda Timur, Kabupaten Manggarai Timur adalah koordinat di mana SMAN 3 Poco Ranaka berada. Sekolah yang sejak tahun 2021 menerapkan Kurikulum Merdeka (KM) melalui Program Sekolah Penggerak.
Kurikulum Merdeka yang berpijak pada enam pilar Profil Pelajar Pancasila itu, membawa salah satu misi, yaitu terciptanya pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui misi itu, Kemdikbudristek hendak merekomendasi transformasi pendidikan Indonesia untuk empat aspek penting ini, yaitu  1) pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik, 2) terciptanya lingkungan belajar yang aman, nyaman, menyenangkan, dan inklusif, 3) adanya budaya refleksi, dan 4) hasil belajar peserta didik terus mengalami peningkatan terutama dalam kompetensi fondasi, seperti literasi, numerasi dan karakter.
Menariknya, keempat butir rekomendasi untuk segera ditransformasi tersebut di atas sangat mudah ditemukan dan dibaca oleh satuan pendidikan. Masing-masing sekolah tidak lagi pusing untuk melihat dan menganalisis kekuatan dan kelemahan sekolahnya dari aneka dokumen yang ia terima. Tetapi ia cukup mengaksesnya melalui akun belajar.id milik kepala sekolah atau guru-guru. Â Jika kemudian akun belajar.id dinyatakan aktif, maka ruang untuk masuk ke Rapor Pendidikan bisa diakses.
Saat pertama kami membaca Rapor Pendidikan 2024 milik kami, ada rasa senang  terbesit. Hal itu dikarenakan warna untuk kompetensi literasi (dan numerasi) secara kumulatif bukan lagi berwarna merah. Melainkan, kedua-duanya, berwarna kuning. Warna yang jelas menunjukkan anak didik kami mendekati kompetensi minimum untuk kompetensi fondasi tersebut. Warna yang lebih adem  dari tahun-tahun sebelumnya.
Namun demikian, warna kuning bukanlah target kami. Komunitas smantipora, sebutan populer untuk SMAN 3 Poco Ranaka, tetap menargetkan warna biru sebagai simbol kecakapan dalam kompetensi literasi. Atas hasil yang kurang ideal tersebut, banyak pertanyaan recehan yang muncul, antara lain: mengapa anak-anak yang sangat gamblang memiliki kelemahan dalam kompetensi fondasi itu masih dinyatakan naik kelas atau bisa dinyatakan lolos ke fase berikutnya oleh sekolah asalnya? Apakah fase-fase sebelumnya tidak pernah melakukan asesmen untuk mendeteksi lebih awal ketercapaian kompetensi tersebut? Dan seterunya.
Ironisnya, semakin banyak pertanyaan rasionalisasi tersebut semakin kami tidak nyaman. Akhirnya, kami berefleksi: anak-anak sudah dipercayakan penuh kepada sekolah kita oleh orang tua mereka. Mengembalikan mereka kepada fase sebelumnya apalagi angkat tangan atas kepercayaan yang sudah diberikan adalah sebuah tindakan tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, kami belokan pertanyaan dan fokus ke arah yang membantu kami memperbaiki kualitas layanan pendidikan dengan rapor pendidikan sebagai basis data. Dan inilah ketiga pertanyaan sentral terkait kategori yang  belum menggembirakan pada elemen literasi di sekolah kami. Pertama, mengapa kemampuan literasi masih berkategori sedang dan bukan baik? Kedua, apa pokok masalah sehingga agak susah berkategori baik? Dan ketiga, langkah taktis apa yang harus diambil untuk mengatasi masalah kompetensi fondasi tersebut?
Tantangan yang Harus Dipenuhi
Meskipun data yang dipaparkan Rapor Pendidikan bukanlah sumber tunggal yaitu dari hasil Asesmen Nasional (AN) saja, namun sejumlah siswa yang dipilih secara random dari Kemdikbudristek tersebut menyeruak fenomena gunung es tentang perkara literasi di sekolah kami.
Saya (selaku kepala sekolah) dan para guru mencurigai berat bahwa semua peserta didik terjebak dalam kubangan yang sama. Oleh karena itu, sekolah sesegera mungkin mengambil tindakan cepat. Ini amat urgen karena kompetensi literasi adalah fondasi utama untuk menguasai bidang ilmu lainnya.