Dampak Virus Corona Covid-19 semakin meluas. Hampir semua area merasakan dampaknya. Salah satunya adalah ibadah Hari Minggu. Atas dampak Covid-19 itu, akhir-akhir ini saya mengamati maraknya fenomena di media sosial yg mengajak orang-orang untuk ibadah online. Pertanyaannya, adakah landasan teologisnya?
Selaku akademisi dan praktisi dengan kompetensi keilmuan dalam bidang pendidikan Kristen, pembelajaran online haruslah bersifat interaktif. Maka dari itu muncullah istilah blended learning, yaitu pembelajaran yang memadukan interaksi langsung guru dan peserta didik dengan menggunakan media online.Â
Pembelajaran tersebut diawali dengan penjelasan atau ulasan dari pendidik dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi (dipersatukan melalui media online). Meskipun ada pertemuan online, kehadiran guru dan peserta didik secara fisik akan ditindaklanjuti dalam satu waktu yang telah disepakati bersama.
Baca juga : Green Screen dalam Gereja untuk Ibadah Online?
Bagaimana dengan istilah ibadah online? Sepanjang sejarah Alkitab, realitas kehidupan adalah part penting dalam liturgi/ibadah. Dalam Kitab Perjanjian Lama misalnya, hubungan khusus antara Allah dan bangsa Ibrani yang dikaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa Yahudi selalu diperingati dan menjadi bagian integral dalam ibadah.
Dalam Kitab Perjanjian Baru, Inkarnasi, misteri paskah, dan pentakosta mewarnai ibadah jemaat mula-mula. Situasi kehidupan jemaat mula-mula yang dikejar-kejar turut mewarnai pola dan tempat ibadah mereka sehingga diadakan di rumah-rumah.
Ibadah adalah cara orang percaya menghidupi, mengalami, dan merayakan karya keselamatan. Apa yang telah Allah lakukan dalam sejarah diperbaharui dan dihadirkan kembali untuk dialami jemaat dalam situasi hidup mereka yang konkret sekarang ini.Â
Ibadah menekankan proses renewal dan internalisasi iman yang harus berefek pada kehidupan real. Dalam kesadaran inilah hendaknya ibadah digumuli ulang.
Dalam pengertian ini, fungsi liturgi menjadi sarana dimana jemaat merasakan karya kasih Allah dalam sejarah menjadi real dalam kehidupan mereka sekarang ini, sekaligus liturgi menjadi arena bagi jemaat untuk mengekspresikan ungkapan syukurnya kepada Allah melalui elemen-elemen yang ada dalam situasi konkretnya.Â
Baca juga : Apakah Ibadah Online di Saat Pandemi Sama dengan Nonton Khotbah?
Selain fungsi representatif, ibadah (liturgi) dalam alkitab mengandung dimensi pengajaran/didaktik (I Kor. 14:26) dan  persekutuan; memecah roti bersama dan doa (Kis.2:42).
Dalam kehidupan Israel, kita melihat bahwa manusia tidak bisa menghampiri Allah dengan sembarangan seperti keinginan manusia, apalagi dengan motif menyenangkan diri - kalaupun bangsa Israel sendiri diberi ruang keleluasaan untuk bertindak secara spontanitas.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, sering ditemui informasi bahwa Allah mengatur bentuk dan cara beribadah, sehingga bentuk itu menjadi ungkapan nyata dari iman jemaat.Â
Ketetapan-ketetapan beribadah yang diberikan oleh Allah, tidak hanya bermaksud menyediakan jalan bagi Israel untuk menyatakan imannya, bukan hanya karena mereka tidak tahu cara beribadah, tapi karena pada dasarnya manusia tidak layak untuk beribadah.Â
Selain itu, lewat ibadah, Allah juga menyediakan jalan kembali kepada kerukunan dan persekutuan yang telah terputus.
Bentuk bentuk ibadah dalam Alkitab menyangkut juga perilaku orang dalam beribadah, karena perilaku kita adalah lambang nilai-nilai kita membantu kita untuk meneguhkan (mengingatkan) kita akan iman dan tanggung jawab kita.
Bentuk ibadah memang seolah-olah membatasi kebebasan. Tapi batasan terhadap bentuk ibadah ini bukan berarti penindasan, karena kemerdekaan sejati tidaklah diperoleh dan dan dinikmati dengan cara bertindak sesuka hati tanpa batasan, melainkan dengan berjalan pada jalan yang ditentukan Allah.Â
Baca juga : Jumat Agung, Perjamuan Kudus dan Ibadah Online
Memang nabi-nabi pernah beberapa kali melontarkan kritik terhadap sikap eksternalisme dalam pelaksanaan ibadah, karena bentuk lahirian ibadah tanpa iman yang hidup dan bertumbuh adalah sia-sia. Namun hal itu tidak berarti bahwa ibadah tidak memerlukan bentuk yang nyata dan teratur.
Ibadah dalam arti respons manusia; mempunyai dua bentuk, yakni ibadah devosional dan ibadah liturgis.
Ibadah devosional dilakukan secara pribadi dan tidak terlalu terikat pada tempat waktu atau tata ibadah. Ibadah ini lebih berfokus pada perenungan dan kesadaran.Â
Saat teduh pagi (dalam bentuk meditasi, kontemplasi, rekoleksi, dll, baik secara pribadi atau bersama dalam keluarga) dapat digolongkan dalam bentuk devosional.
Sementara ibadah liturgis selalu menyangkut kebersamaan yang lebih besar dari individu, Â yang tentunya porsi-porsi individu tidak diabaikan, bahkan mendapat peran penting; seperti saat teduh sebelum unsur pengakuan dosa.Â
Karena ibadah liturgis menyangkut kebersamaan, maka ia membutuhkan bentuk yang secara bersama bisa dimengerti, mampu mengakomodasi expressi individu dan bersama secara wajar. Karena itu faktor tradisi dan konteks jaman memainkan peranan penting.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, Firman Allah tidak didominasi dalam khotbah, tapi dalam bacaan, perenungan, nyanyian yang memuat pengajaran yang diulang-ulang (pengunyahan) yang merupakan proses internalisasi.Â
Kelihaian berkhotbah mulai mendapat kepentingannya dalam Kitab Perjanjian Lama sebagai efek dari sistem pendidikan retorika. Sedikit tidaknya, efek yang berbeda muncul dalam karakter khotbah Paulus dan Apolos yang akhirnya mendatangkan gejolak keberpihakan dalam jemaat korintus (bnd. I Kor. 1:12).
Perobahan situasi kehidupan jemaat memang menuntut cara hidup dan ibadah yang berbeda pula. Kita menyadari bahwa, gereja selalu berada dalam masa transisi, tidak pernah berada dalam kondisi fix dan permanent.Â
Konteks sekarang; kita berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama tradisional di satu pihak, tapi kita juga bergumul dengan konteks modernisasi yang dengan nyata menjadi bagian hidup masyarakat yang mendatangkan perobahan nilai (pola pikir/pengertian/penghayatan).
Karena itu, gereja tidak boleh berhenti bergumul memperbaharui hidupnya agar menjadi kesaksian yang benar tapi relefan dalam penyampaiannya. Berhenti bergumul dan mempermanenkan suatu pengalaman sejarah sebagai standard dapat membuat gereja kita menjadi monumen antik.Â
Sehubungan dengan upaya pembaharuan liturgi, maka yang kita cita-citakan adalah ibadah yang kontekstual dengan muatan-muatan konteks yang tertuang dalam unsur-unsur liturgi, tapi tetap didasarkan pada theologi dan struktur prinsipil liturgi.Â
Bagaimana menciptakan ibadah yang kontekstual tapi berdasar pada theologi dan prinsip liturgi? Apakah online masuk dlm kategori ibadah? Saya khawatir yg terjadi bukan ibadah, tetapi jemaat diajak menonton konser ibadah.
Untuk menjawab apakah ada ibadah online? Saya berharap masalah ini akan dibahas dalam semiloka tersendiri, karena ia membutuhkan waktu dan latihan yang cukup.
Usulan saya, daripada gereja sibuk dgn urusan ibadah online yg belum jelas pertanggunjawaban teologisnya, lebih baik gereja fokus membina keluarga-keluarga utk menghidupkan ibadah dimasing-masing keluarga jemaat.Â
Bahan-bahan liturgi bisa saja disediakan secara online. Namun Pendeta dan majelis dapat menggilir kehadirannya untuk mendampingi keluarga-keluarga dalam melakukan ibadah.Â
Sehingga dimensi liturgis, keterhubungan individu-individu masih terpelihara dlm bentuk persekutuan. Lagian seruan presiden bukan ibadah dari rumah tetapi beribadah di rumah.
Tuhan Yesus memberkati. (JS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H