Sumardjono, ”siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology”, 1989: 3.
Sumardjono, ”siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology”, 1989: 3.
Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia. Jurnal Perdikan.
Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.
Teguh Pudjo Mulyono, “Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan , Jakarta, 1999. UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO.
Titus Harold, Marilyn S., Smith, and Richard T. Nolan. 1984. Living Issues Philosophy, diterjemahkan oleh Rasyidi. Pcnerbit bulan Bintang: Jakarta.
Teuku Jacob., Hak untuk Mati: Aspek Biomedis, Makalah Seminar Regional Maha Siswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 19889.
Umar Seno Adji., Euthanasia (Dalam Varia Peradilan No.14 Bulan November 1986), Jakarta.
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003)
---------- Wright,W.K, A history of modern European Philosophy, New York, 1941.
Wiliam Zelernyer. Internasional to Bussines Law The Macmillan Company, New York. London : Collier-Macmillan Limited, 1964.
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.
Zainuddi Ali, MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu, Hal. 2.
--------- 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Prof. Hikmahanto Juwan
Komentator Terhadap Politik Hukum Undang Undang
Ekonomi di Indonesia.
Oleh Nuraini
1. Bekaitan dengan kebijakan dasar UU Pemilu yang baru, sebenarnya bukan sebagai kebijakan Dasar yang murni untuk mewakili rakyat akan tetapi untuk suatu kepentingan tertentu, misalnya pada Pemilu yang baru lalu, dimana kebijakan dasar tersebut murni malah membingungkan rakyat apalagi yang buta huruf, sedangkan untuk yang orang perkotaan saja masih bingung apa maunya pra elit politik dan mau dibawa kearah mana Negara yang sedang terseok-seok ibarat kapal tanpa nakoda.
2. Kebijakan dasar kepailitan yang katanya untuk kepentingan terhadap keadaan jatuh pailit dan tidak mampu membayar, akan tetapi pada kebijakan pemberlakukan undang-undang kepalitan tersebut didalama prakteknya tetap diperhitungkan harta kekayaan bagi orang jatuh pailit, padahal menurut undang-undang kepailitan, harta kekayaan tidak termasuk atau dalam hitungan yang diperjanjikan antar kreditur dan debitur. Hanya apabila salah satu pihak didalam perjanjian tersebut meninggal dunia, baru akan dibebaskan dari perjanjian pembayaran hutang.
3. Berkaitan dengan Kebijakan pemberlakuan dan juga terhadap penegakan hukum yag bersumber kepada permasalahan tersebut adalah merupakan suatu pembentukan hukum. Pada dimensi kebijakan pemberlakukan yang memang merupakan sebagai prodak kolonial adalah suatu ebijakan pemberlakukan yang fudamental, yang mengakibatkan dari petinggi-petinggi yang hendak menciptakan kebijakan dasar merasa tidak mampu (contoh KUHPerdata), karena ketidak mampuan tesebut mengakibatkan prodak suatu kebijakan dasar (UU) selalu diusulkan untuk suatu kepentingan instansi atau intitusi dari lembaga atau badan hukum yang diberi kewenangan oleh negara untuk menjalankan kebijakan Pemberlakukan. Atas dasar masalah kebijakan pemberlakukan tersebut yang seolah-olah dipaksakan olek kepentingan tertentu yang menjadikan kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakukan prodak yang didalamnya terdapat unsur kepentingan menjadi mandul dan tidak mempunyai kepastian hukum.
4. Terhadap point menggantikan ketentuan yang telah usang yaitu mengenai kebijakan pemberlakukan, pada dimensi suatu prodak prodak pemerintah yang sangat tidak efektif kebijakan pemberlakuan, kita lihat contoh bencana situ gintung, banjir bandang dan luapan lumpur lapindo. Kebijakan pemberlakukanya yaitu UU Lingkungan Hidup, UU Hak Asasi manusia, UU gangguan dan lain-lain sebagainya, sampai sangat banyak kebijakan pemberlakukan tersebut mengakibatkan tidak satupu dari masalah tersebut dapat diselesaian secara efektif demi kepentingan pihak korban yang sehingga harga kepastian hukum hanya angan-angan. Mengapa demikian karena landasan hukum untuk mencapai kepastian hukum masih menggunakan prodak kolonial belanda, yang mana sebenarnya prodak hukum tersebut untuk kepentingan pihak kolonial.(seperti KUHP, KUHA Perdata), yang mana didalam memperbaharui kebijakan pemberakuan tidak ada keberania untuk membongkar secara murni atau total, dan terlihat didalam perubahan-prubahan serta pasal demi pasalnya masih bersandar ada pasal-pasal yang tedapat didalam undang-undang atau ketentuan yag akan tidak diberlakukan lagi/telah usang
5. Dalam kebijakan pemberlakukan UU Bidang Ekonomi adalah berkeinginan untuk memiliki hukum modern, dengan bertujuan untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Akan tetapi pada negara-negara kapitalis pada masalah tersebut pada umumnya secara eksteral terhadap kebijakan pemberlakukan yang mereka punyai akan dipaksakan untuk mencair pada iklim perekonomian yang berdasarkan Pancasila. Masalah yang demikianlah yang mengakibatkan kebijakan pemberlakukan internal akan terpengaruh oleh kebijakan pemberlakukan eksternal (negara kapitalis), memang benar kebijakan pemberlakukan eksternal tersebut adalah untuk menarik para investor agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Akan tetapi atas dasar kebijakan pemberlakukan eksternal itu akan berdampak pada pengusaha-pengusaha mikro, karena kebijakan pemberlakukan pemeintah pada umumnya tidak memperhatikan usaha mikri tersebut dan sebagai akibat dari kebijakan pemberlakukan internal yang merupakan prodak pemerintah malahan menbawa kesengsaraan bagi usaha disektor riil atau mikro.
6. Kebijakan pemberlakuan mengenai persyaratan utang dan hibah, hal ini adalah upaya dari pemerintah agar mendapatkan pinjaman hutang atau pemberian hibah, akan tetapi walaupun kebijakan pemberlakuan yang telah dirubah dengan standar kebijakan pemberlakukan negara pemberi hutang adalah dengan tujuan untuk meninjau utang atau menambah hutang dengan ketentuan pembayaran agar dapat diperpanjang. Sebarnya kebijakan pemberlakuan pemerintah tersebut adalah suatu prodak memaksakan kehendap, jika kita analisa dan kaji secara mendalam yang sebenarnya hutang-hutang tersbut tidak akan terbayar, malahan semakin menumpuk. Negara pemberi pinjaman adalah negara kapitalis yang mana kebijakan pemberlakukan merea adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, walaupun kebijakan pemberlakuan pemerintah terseut telah dirubah menurut keinginan mereka tetap saja kemudahan-kemudahan ada pada negara yang meminjamkan hutang, yang sebagai akibatnya dari kebijakan pemberlakuan tersebut adalah hanya untuk menjaga kestabilan perekonomian semata, yang nyata-nyata ibarat gali lobang tutup lobang sebagai akibat dari suatu kebijakan pemberlakuan yang semu.
7. Terhadap kebijakan pemberlakuan parktek monopoli adalah yang sebenarnya adalah suatu kebijakan pemberlakuan yang semu, dimana kebijakan eksteral (negara Internasional) adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya mengingat mereka mempunya kemudahan-kemudahan didalam berinvestasi dengan dasar kebijakan pemberlakuan yang diberikan pemerintah tersebut. Pada fakta yang sebenarnya dimana kebijakan pemberlakuan pemerintah tersebut hanya sekian persen saja yang dapat diterima oleh pemeriktah (keuntunganny) sedangkan kerugian yang sebenarnya adalah yang diderita oleh pengusaha-pengusaha domestik karena kalah bersaing dengan negara investor tersebut. Kebijakan pemberlakuan yang demikianlah yang dianggap tidak efektif dan terencana karena tujuan dan maksud dari kebijakan pemberlakuan untuk mendapat keuntungan malahan tanpa disadari mengakibatkan kerugian pada sektor riil atau mikro.