Aku memulai sedih dihadapan Nick. Tanpa air mata pun aku yakin dia mengerti sebuah kesedihan besar yang telah aku alami. Kami menjalani ini lebih dari sepuluh tahun. Bermula dari awal masuk sekolah menengah atas sampai selesainya perjalanan kuliah kita dengan gelar sebagai akhirnya. Kami bersama untuk hampir dalam segala kegiatan. Satu tempat tinggal bersama, hobi yang sama dan orangtua kami pun saling menganggap kami bersaudara. Itulah singkat ceritaku bersama Nick - sahabat karib.
"Aku nggak tahu lagi,Nick. Kenapa ini bisa terjadi kepadaku. Aku sangat sedih sekali. kau tahu itu!" ungkapku padanya.
Aku kehilangan satu cerita indah bersama seorang wanita yang betul-betul aku sayang. Dan Nick tahu betul ceritaku bersama Kenia, si gadis mungil yang telah aku kencani selama dua tahun belakangan. Nick tidak banyak berkomentar soal dia. Aku tahu sekali sifat baik sahabatku itu. Dia selalu mendukung untuk hal yang aku anggap baik dalam hidupku terutama soal asmara.
Lain cerita jika itu menyangkut soal orangtua. Nick sangat sensitif bila berkaitan dengan itu. Dia yang kukenal adalah seorang yang amat sangat berbakti kepada kedua orang tua.
"Mama Pergi! aku nggak mau dengar lagi nasihat mama." pekikku kepada mama saat ia berkunjung ke apartemen kami.
Saat itu aku berfikir untuk memutuskan berhenti kuliah dan memulai bisnis retail bersama seorang rekan bisnis yang baru saja aku kenal. Kedua orangtuaku adalah pebisnis sejati dan mungkin darah itu yang mengalir di diriku saat itu. Dengan ambisi yang menjadi aku melawan kedua orangtuaku. Bahkan saat mama menyempatkan waktu mengunjungiku di apartemen aku dan Nick, dia mencoba membujukku untuk berfikir ulang tentang keputusanku itu.
Bagiku itu bisnis yang sangat menjanjikan. Aku sudah merancang semuanya. Mulai dari berapa jumlah modal, lokasi dan bahkan konsep seperti apa untuk bisnisku nanti, semua sudah terpola seratus persen dikepalaku. Tapi itu tidak buat orangtuaku terkhusus mama.Â
Lalu kedatangan mama itu berusaha membelokkan ambisi ku untuk sekedar mengulur waktu pada waktu yang tepat, tentu selepas menyelesaikan kuliah.
"Brukkk!" sebuah tonjokkan mengarah dimukaku saat itu.
Aku terkulai jatuh kesakitan.
"jaga bicaramu! itu mama. Jaga sikap baik jika bicara pada mamamu!" ucapnya dengan nada tegas.
Yah, betul sekali. Itulah Nick yang datang dengan sikap menjunjung tinggi nilai kesopanan terhadap orangtua. Dia tidak salah untuk itu, akulah yang sangat bersalah tentang apa yang aku sudah lakukan ke mama. Aku terlalu terbawa pikiran yang memberontak sehingga nada bicaraku tidak lagi selayaknya nada yang digunakan seorang anak pada mamanya.
Aku haruslah banyak belajar kepada Nick untuk urusan itu.
Kejadian itu kurang lebih tiga tahun yang lalu sebelum kami menyelesaikan kuliah kami atau bahkan sebelum aku mengenal Kenia - Sang mantan. Yah, dia sudah jadi mantanku saat ini. Satu kisah lain yang membuatku sedih bukan kepalang selain kesedihanku soal Nick. Mungkin nanti cerita ini akan aku ceritakan pula, tapi entah kepada siapa.
Aku ditinggal menikah oleh Kenia. Dia lebih memilih menjadi istri seorang artis yang aku pikir dia tidak terlalu terkenal. Soal kekayaan, aku pun merasa keluarga kami masih lebih kaya dari pasangan yang dia jadikan suami itu. Berbicara soal ketampanan pun, tanpa bermaksud untuk menyombongkan. Aku tidak kalah tampan dari dia, juga aku pun rajin untuk perawatan soal ketampananku.Â
Namun popularitas mengatakan hal yang berbeda. Aku sebetulnya sudah tahu ini sejak lama. Bukan tentang perselingkuhan itu, tapi soal keinginan Kenia yang ingin sekali menjadi terkenal. Menjadi seorang artis juga. Sama seperti pasangannya itu. Aku lihat memang sekarang ia mulai menjajaki dunia itu. Dunia keartisan yang sudah lama ia idamkan bahkan sejak kami berpacaran dulu.
"Kau tahu Nick, itu menyakitkan. Sangat sakit."
Dan aku selalu yakin pada kalimat yang Nick berulang kali katakan kepadaku. Juga aku yakin dia katakan juga saat ini.
"Apapun yang terjadi, Bro. Aku akan selalu ada untukmu. Seorang lain mungkin bisa meninggalkanmu tetapi tidak aku." begitu katanya.
Tanpa terasa aku telah menghabiskan waktu cukup lama berbincang dengan Nick. Dan suara handphone ku berdering seperti berjodoh saja menyadarkanku soal itu.
"iya ma!" jawabku diujung telpon.
"kamu masih disana, nak? mama mau menyusul!" ujar mamaku.
"iya masih. Baik ma, aku tunggu."
Seraya menunggu aku lanjutkan saja curhat ini kepada Nick. Mungkin ini akan jadi curhatan terlama dan mungkin juga aku akan sulit menemukan waktu yang pas untuk berbicara banyak seperti ini. Kini selepas mengakhiri pekerjaan pertamaku dari awalku keluar sebagai sarjana, juga bersama Nick dua tahun silam. Aku kembali pada tekad awalku untuk berbisnis. Dan saat ini bisnis yang aku jalani sudah sangat berkembang pesat. Tentu aku akan menghabiskan waktu yang lebih banyak lagi untuk menjaga kestabilan bisnisku itu.
Maka itu aku tidak tahu apakah aku akan dapatkan momen seperti ini lagi bersama Nick.
Uhm, memang waktu seolah berjalan begitu berat dan signifikan terutama dalam tiga tahun belakangan. Kami berdua tamat kuliah. Aku bertemu Kenia sebagai teman kantor lalu aku pacari. Kemudian kabar tentang Nick itu sendiri dan kemudian kabar pahit tentang ditinggal menikah oleh si wanita yang aku anggap akan jadi dewiku itu - Kenia tentu. Semua berjalan dengan sangat cepatnya. Sampai dada ini seolah tak cukup siap menampung udara yang aku harus legakan dikala semua ini terasa berbeban.
Dan akhirnya mama datang bersama papaku dan adik bungsu.
Semua kompak mengenakan seragam hitam di hari ini. Ini hari yang spesial pula untuk semua orang. Satu kemenangan besar setelah semua orang pada kepercayaan ini menyelesaikan satu bulan puasanya.
Yah, hari ini hari lebaran. Hari satu syawal.
"Kau sudah bacakan doa untuk Nick?"
"Sudah ma. Juga bunga itu." Seraya aku menunjuk pada satu ikat karangan bunga yang sengaja aku bawa untuk berziarah dimakam Nick.
Sungguh lepas air mataku sekarang. Yang sedari tadi bisa aku tahan. Yang sedari tadi tidak aku coba ingatkan pada diriku bahwa Nick sudah tidak bersama ku lagi sebagai jasad disini. Ia hanya ada dipikiranku. Ia hanya jadi penguatku dalam kuatnya perasaan bonding ini sebagai satu teman dekat bahkan label kami dari orangtua masing-masing sebagai seorang saudara satu sama lain.
Nick pergi meninggalkan kami semua tak lama berselang dari tamatnya kami kuliah.
Ia meninggal dalam perjalanan pulang dengan sepeda motor kesayangannya.
Mamanya juga mamaku sempat mengingatkan dia untuk lebih memilih mengendarai mobil daripada sepeda motor. Mungkin tingkat kemungkinan selamat itu akan ada pada kecelakaan yang ia alami. Namun semua itu hanyalah pengandaian semata dariku. Dari perasaan yang belum sama sekali menerima kepulangannya kepada Tuhan.
"Sudah, nak! sudah."
"Kenapa ketika mama datang barulah kau menangis untuk Nick?" tanya mamaku.
"Mama sudah menyadarkanku dari hanyalan berbincang dengan Nick. Kini kembali aku sadar, Ia tidak lagi disini, ma."
lalu tumpahlah kembali air mataku.
"maafkan mama, sayang. maafkan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H