Mohon tunggu...
Tjitjih Mulianingsih Ws
Tjitjih Mulianingsih Ws Mohon Tunggu... Guru - Guru yang menyukai menulis dan berkebun

Guru yang menyukai menulis dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bapak dan BH

30 Januari 2020   14:15 Diperbarui: 30 Januari 2020   14:16 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari belum muncul, ketika dering HP di meja belajar mengagetkanku. Kulihat ternyata panggilan dari Teh Ina, kakak pertamaku yang tinggal bersama Bapak dan Mamah.  Cepat-cepat kuangkat panggilannya.

"Iya, Teh?"  Langsung saja aku bertanya.  Tak biasanya, kakakku ini telpon di pagi hari.

"Din, Bapak ngga ada, Mamah nangis di kamar!" Kata Teh Ina. Terdengar nada panik dalam kalimat-kalimatnya.

"Hah! Kok bisa, kemana? Masa ga ada yang tahu?"  Jawabku kaget.  Tak masuk akal, bapakku  tiba- tiba tidak ada di rumah  lepas Subuh.

"Iya, tidak ada dimana-mana, Teteh sudah menyusul ke mesjid."

"Terus?" Lanjutku.

"Tidak ada, menurut Pa Gondrong, Bapak sudah pulang sehabis sholat jamaah,"

"Teteh sudah cari kemana saja?" Tanyaku lagi.

"Kandang ayam, rumah anggrek dan halaman belakang, biasanya Bapak di situ jika tidak ada di rumah."

"Ayo ke sini, bantu Teteh menenangkan Mamah!" Kata Teh Ina panik.

"Iya nanti ya, habis antar Kaka sekolah ya, Bapa ga akan kemana mana Insya Allah!" Jawabku berusaha menenangkan hati Teh Ina. Setelah menutup percakapan sebenarnya ada rasa khawatir yang begitu besar di hati mengenai Bapak.

Bapakku pensiunan ASN sebuah BUMN dengan posisi terakhir lumayan agak tinggi.  Usia Bapak 76 tahun lebih 4 bulan.  Bapak belum pikun dan masih aktif menulis serta menghapal ayat-ayat suci.

Kebiasaan Bapak setiap dinihari sewaktu menemani Mamah sholat malam adalah minum kopi, menulis dan mengirimkan sms kepada empat orang putranya termasuk kakakku yang tinggal bersamanya.  Isi SMSnya selalu sama. 

"Apa kabar? Semoga selalu sehat, jangan lupa jaga kesehatan dan sempatkan sholat malam!" 

Kadang-kadang kalau pas kebetulan terbangun, aku selalu membalasnyam tetapi pada kenyataannya lebih sering tidak kubalas.  SMS itu selalu dan tetap datang setiap dinihari.  Hingga dinihari tadi bapak tidak seperti biasanya tidak mengirim SMS.  

Setelah mengantarkan Kakak, putra pertamaku ke sekolah.  Aku mampir ke rumah Mamah. Tampak Mamah sedang ditemani  Teh Ina,  kakak pertamaku.  Setelah salim dan berpelukan, Mamah lalu bercerita.

"Bapak tidak ada sehabis subuh tadi, pamitnya sholat subuh ke mesjid seperti yang biasa bapak lakukan"

Mamah berkata sambil menyusut air mata yang mulai menetes. "Hingga sekarang Bapakmu belum datang," lanjut Mamah lagi.

"Siapa yang terakhir lihat Bapak teh?" Tanyaku pada Kakakku.

"Pak Gondrong merbot mesjid, katanya Bapak pergi ke arah by pass," jawab Teh Ina.

"Yudi dan Iwan, sudah Teteh beritahu mereka akan ke rumah Mamah selepas Zuhur." Lanjut Teh Ina.

"Tut.......tut" Hpku bergetar. Kulihat panggilan dari adikku Yudi.

"Halo Yud?"

"Teh Dina di Mamah ya? Yudi sudah telpon semua Uwa dan Bibi di Jakarta, Bogor dan Kuningan. Mereka semua tidak tahu keberadaan Bapak," Yudi bercerita di telpon.

Aku mendengarkan dengan seksama, "Mamah panik Yud, gimana ya?" Lanjutku lagi.

"Bilang sabar dulu Teh, belum bisa lapor polisi karena belum 1 x 24 jam, pantau dan terus telpon Bapak aja Teh yang kita bisa lakukan sekarang!" Jawab Yudi adik bungsuku.

Akhirnya setelah berdiskusi dengan Teh Ina, kami akan bergantian menemani mamah di rumah.  Karena hari ini hari Senin dan biasanya pasien di puskesmas banyak, maka Teh Ina dulu yang menemani.  Teh Ina seorang guru di SMP dan hari ini jadwal PTS di sekolah. Dia bisa tukar jadwal dengan guru pengawas yang lain.

Aku kemudian berangkat ke tempat tugasku, sebuah puskesmas di kecamatan kecil. Sepanjang jalan menuju puskesmas, aku teringat Bapakku.  Semoga Bapak baik-baik saja.  Jalan Bapak sudah amat pelan sebenarnya, ketika menuangkan kopi ke gelas biasanya tidak masuk semua ke gelas tapi berceceran. Begitu pula ketika mengangkat gelas dari dapur ke meja ruang keluarga biasanya air kopi berceceran di sepanjang jalan.  Aku teringat pembicaraan kami berempat anak-anaknya terakhir kemarin di grup WA keluarga, rata-rata kami sedang menghindar berbicara dengan Bapak, karena Bapak sering mengkritik dan mengevaluasi kami. Hal ini membuat tidak nyaman.

"Kalian sih enak bisa menghindar, Teteh nggak bisa.  Setiap pagi pada saat menyeduh kopi, Bapak pasti minta waktu sebentar untuk berbicara dengan tema yang beragam tapi cenderung menyelidiki. Semuanya ditanya," cerita Teh Ina masih lekat di ingatanku.

"Bapak mungkin kesepian!" Pikirku.  Setiap hari hanya berdua dengan Mamah yang sudah sama tuanya dan agak pikun sehingga tidak bisa saling bertukar pikiran. Ah, tiba-tiba aku merasa bersalah telah mengabaikan Bapak.  Laki-laki yang paling kusayangi di dunia ini.  Cerewetnya Bapak kepada kami anak-anaknya bukanlah rasa ingin menang sendiri karena merasa orang tua, tetapi lebih pada rasa sayang kepada anak-anaknya.   Bapak sungguh seorang laki-laki penyayang, masih kuingat sewaktu kecil dulu, Bapaklah yang sibuk mencarikan kami obat jerawat jika di pipi kami anak-anak perempuannya tumbuh jerawat. Bapak yang dengan sabar menemani dan menunggui kami belajar berenang.   Mengingat ini, air mataku tak terbendung lagi.

Aku akhirnya bisa membuka HP setelah pasien terakhir yang kucabut giginya pulang.  Hal pertama yang kulakukan adalah membuka WA.  Yang kulihat lebih dahulu  adalah grup WA keluarga.

"Alhamdulillah!" Pekikku setelah membaca WA dari Teh Ina di grup keluarga.

"Yud, Iwan, Tita, Alhamdulillah  Bapak sudah bisa dihubungi."

Kulihat semua menjawab Alhamdulillah.

"Bapak sekarang ada di Bus Agramas sedang perjalanan pulang dari Bogor. Nanti sore kita kumpul di rumah Mamah ya sambil menunggu kedatangan Bapak".

Setelah absen sore, aku bergegas ke rumah Mamah.  Sempat sebelumnya kubaca WA dari Teh Ina,

 "Bapak sedang dijemput Aa Iwan di lampu merah."

Pukul 16.00 aku tiba di rumah mamah, tampak kulihat Bapak sedang dikelilingi Mamah, Aa Iwan, Teh Ina dan Yudi.  Mamah berulang kali menyusut air mata. Di tangannya terdapat sebuah plastik hitam berisi bungkusan.

"Sini duduk Dina!" Mamah langsung menyapaku.

"Bapak darimana? Kami semua khawatir." Tanyaku langsung setelah mencium punggung tangannya.

"Begini, Bapak tadi dari Bogor. Ke Pasar Bogor tepatnya," Bapak mulai bercerita.

"Bapak membelikan Mamah ini!" Sambil terisak Mamah memperlihatkan bungkusan yang sudah dirobek.

Tiga pasang BH merek Lobel.  Setahuku itu BH yang dipakai Mamah, BH merek jadul yang hanya ada di Bogor dan dijual di satu-satunya toko di Pasar Bogor.   Mamah tak bisa memakai BH merek lain.  Itu BH yang selalu dipakai Mamah sejak gadis. Biasanya Mamah membeli BH itu ditemani Bapak, tetapi sekarang tak bisa lagi.  Mamah tak bisa berjalan lagi, sekarang Mamah memakai kursi roda.

"Bapak, tidak tega melihat BH Mamah yang sudah robek-robek dan Bapak tidak mau merepotkan kalian, kebetulan Bapak baru dapat honor dari majalah Mangle. Maafkan Bapak ya, sudah membuat kalian khawatir." 

Dan ruangan menjadi hening, rasa bersalah menyelimuti ruang keluarga.


Karawang, 29 Januari 2020

Tjitjih Mulianingsih Ws

Keterangan;

Aa = Kakak laki-laki dalam bahasa Sunda

Teteh = Kakak perempuan dalam bahasa Sunda

Mamah = Mama/ibu 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun