Tak terasa aku ikut larut dan meneteskan air mata.  Bunga Melati itu ternyata sudah  mati, sisa tenaga terakhirnya digunakan untuk meminta Bunga Kemuning ikhlas.
"Hiks....hiks...hiks" Tangisan Kemuning menyayat hati.
Aku memberanikan diri mencoba menghampiri Kemuning, kutumpahkan air putih di gelas ke akarnya.
Suasana hening kembali. Â Udara dingin membuatku merapihkan syal, sudah pukul 04.00 dinihari.
"Terima kasih, hiks!"  Tiba --tiba suara Bunga Kemuning lirih kepadaku.  Tampak hanya tinggal  gerumbulan kecil bunga-bunga Kemuning pada tangkai dengan daun yang layu.
"Siapakah majikanmu? Bolehkah aku mengantarmu kepadanya?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Tidak, tidak usah, Melati berpesan kami tak boleh meminta bantuan yang lain untuk mengantarkan kami ke majikan."
"Biarlah majikan kami sendiri yang datang mengambil kami,"
"Tapi waktu akan terus berjalan, jika sampai saat ini kamu belum diambil, mungkin kamu juga akan menyusul Melati, apalagi mess sebentar lagi akan dijual oleh pemiliknya." Ujarku mencoba memberi pengertian kepada Bunga Kemuning.
"Tak mengapa, mungkin majikan kami lupa, mungkin majikan kami punya alasan lain untuk tidak membawa kami pergi bersamanya.. hiks!" Jawab Kemuning pelan.
"Tapi apapun itu, aku setuju dengan Melati, mungkin Tuhan menyayangi kami dengan caraNya, Dia tak ingin kami memaksa mengikuti majikan kami, jika itu berarti mencuri rahmatNya pada bunga yang lain." Ujarnya lebih lanjut.