Di taman sebuah mess pusat kota, ada percakapan dua bunga yang sempat kucuri dengar sewaktu lembur menulis laporan. Â Dua bunga sedang berdialog. Â Ini menjelang dinihari sebenarnya. Â Sempat kuperhatikan dari balik laptop, teryata itu adalah dua bunga yang berwarna putih "Melati dan Kemuning".
Penasaran kucoba menajamkan telinga,menyimak  apa yang sedang mereka perbincangkan.
"Kita sudah tak punya harapan lagi, untuk dibawa pergi majikan kita!" Begitu kata Kemuning. Â Dia mulai menggugurkan bunga-bunganya di sela daun-daunnya yang menguning.
"Aku sudah tak tahan lagi, semenjak mbak pengurus yang dititipi kita berhenti bekerja, tak satupun yang sudi melihat kita, terlalu tinggi rasanya untuk berharap disiram." Keluhnya pada bunga Melati di sampingnya.
Bunga melati itu tertegun mencoba menggoyangkan daun-daunnya dengan sisa tenaga, kuperhatikan  dia tak berbunga hanya tinggal batang dengan daun-daun yang layu mengering.Â
"Jangan begitu, kita tetap harus punya harapan suatu saat majikan kita akan menjemput." Ujarnya lirih. Â Suara bunga Melati jauh lebih pelan dibandingkan kemuning.
"Bagaimana mungkin, kau masih memelihara harapan padanya?" Ujar Kemuning dengan sinis.
"Daun dewa, sambung nyawa serta cabe, sudah pergi mendahului kita, mereka mati kehausan, mereka teman-teman  senasib yang dititipkan ke majikan kita!"
"Lihat!, apa majikan kita peduli? Tak ada sama sekali!".
"Hushhh, tak boleh begitu! mungkin dia sibuk!" Jawab bunga Melati. Â Tampak sekali berusaha menenangkan bunga kemuning.
"Hah?"
"Sibuk?"
"Kau tahu Melati, dia sempat mampir ke sini, tak diliriknya kita, Dia sibuk dengan mengunyah tempe goreng buatan si mbak!"
"Jiwanya tak lagi bersama kita Melati!" Jerit Bunga Kemuning frustasi.
Bunga Melati hanya terdiam.Â
Kutajamkan kembali telingaku, suasana teras di mess ini hening sekali, para penghuninya sudah terlelap dengan mimpinya masing-masing. Â Kuperhatikan sekeliling, ah memang suasana mess sudah berubah. Â Mulai tak terurus termasuk tamannya. Â Dulu disitu banyak sekali tanaman berbunga yang berbau harum jika berbunga. Â Sekarang hanya kulihat segerumbul bambu kuning meranggas dan dua pot bunga yang sedang sekarat.
"Kemuning, apapun yang terjadi mungkin ini sudah garis kita, ikhlaslah terima!" Melati
"Tidak! aku tak rela!" Â Jerit Kemuning.
Dari balik laptop kuperhatikan Bunga Melati terdiam, suasana beku, udara mendingin dan aku tiba-tiba merinding. Â Ada keharuman menguar di ruangan ini. Â "Wangi bunga melati."
"Tidak...jangan pergi Melati, jangan pergi!" Â Teriakan Kemuning seketika mengagetkanku.
"Hiks...hiks, jangan pergi Melati" Bunga Kemuning tampak terisak. Â Daun-daunnya tampak semakin banyak berguguran jatuh di lantai taman.
"Hiks..hiks..hiks" Suara tangisan Bunga Kemuning memecah dinihari.
Tak terasa aku ikut larut dan meneteskan air mata.  Bunga Melati itu ternyata sudah  mati, sisa tenaga terakhirnya digunakan untuk meminta Bunga Kemuning ikhlas.
"Hiks....hiks...hiks" Tangisan Kemuning menyayat hati.
Aku memberanikan diri mencoba menghampiri Kemuning, kutumpahkan air putih di gelas ke akarnya.
Suasana hening kembali. Â Udara dingin membuatku merapihkan syal, sudah pukul 04.00 dinihari.
"Terima kasih, hiks!"  Tiba --tiba suara Bunga Kemuning lirih kepadaku.  Tampak hanya tinggal  gerumbulan kecil bunga-bunga Kemuning pada tangkai dengan daun yang layu.
"Siapakah majikanmu? Bolehkah aku mengantarmu kepadanya?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Tidak, tidak usah, Melati berpesan kami tak boleh meminta bantuan yang lain untuk mengantarkan kami ke majikan."
"Biarlah majikan kami sendiri yang datang mengambil kami,"
"Tapi waktu akan terus berjalan, jika sampai saat ini kamu belum diambil, mungkin kamu juga akan menyusul Melati, apalagi mess sebentar lagi akan dijual oleh pemiliknya." Ujarku mencoba memberi pengertian kepada Bunga Kemuning.
"Tak mengapa, mungkin majikan kami lupa, mungkin majikan kami punya alasan lain untuk tidak membawa kami pergi bersamanya.. hiks!" Jawab Kemuning pelan.
"Tapi apapun itu, aku setuju dengan Melati, mungkin Tuhan menyayangi kami dengan caraNya, Dia tak ingin kami memaksa mengikuti majikan kami, jika itu berarti mencuri rahmatNya pada bunga yang lain." Ujarnya lebih lanjut.
"Dia pasti ingin kami langsung menemuiNya menuju CintaNya yang paripurna." Ujarnya pelan sekali.
Angin bertiup menjatuhkan kelopak-kelopak terakhir bunga-bunga kecil kemuning, ada harum yang menguar di udara. Â Kupandangi Bunga Kemuning dengan nanar. Â Dia telah pergi seperti Bunga Melati.
Kini aku yang terisak.
Suara Sholawat Nabi  dari toa mesjid sebelah mess  mulai terdengar.
Sholatuminallah wa alfa salaam
Alaal musthofa Ahmad
Syari fil maqoom
Sholatuminallah wa alfa salaam
Alaal Musthofa Ahmad
Syari fil maqoom
Salaamun salaamun kamiskil khitaam
Alaikum uhay ba banaa yaa kiroom
Salaamun salaamun kamiskil khitaam
Alaikum uhay ba banaa yaa kiroom
Wa man zikruhum
Unsunaa fidzalaam
Wa nuurun lanaa
Baynahaadzal anaam
Shalawat serta ribuan Salam dari Allah
Semoga tercurah pada sosok terpilih, Ahmad, pemilik derajat
mulia
Salam, salam bak minyak kasturi terakhir
Tercurah pada kalian karena lahirnya rasa gelisah kecil,
wahai yang mulia
Dan sosok yang menyebutnya membuat kami lupa dalam
kegelapan
Dan penerang bagi kami diantara manusia-manusia ini
Maka apakah kalian akan mernbahagiakan aku dengan
jernihnya cinta
Apakah kalian akan memberiku derajat mulia
Aku hamba kalian, wahai keluarga kecil yang memenuhi janji
Dan di dekat kalian ada obatku dan kesembuhan
Maka janganlah kalian sakiti aku dengan panjangnya
berpaling
Dan berikan anugerah pertemuan meski dalam mimpi
Aku mati dan hidup alas, cinta kalian
Kehinaanku di hadapan kalian, dan kemuliaanku bersama
kalian
Jiwaku gembira dengan harapan berdekatan dengan kalian
Ketetapan hati dan kesengajaanku pada kalian akan
senantiasa ada
Karawang, 12 Januari 2020.
Tjitjih Mulianingsih Ws
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H