Â
Beda Zaman Beda Sudut Pandang
Sejak saya masih kecil yakni tiga perempat abad lalu, yang namanya Penulis ataupun Wartawan  adalah sosok yang "rancak dilabuah" Artinya popular di media dan dalam masyarakat,tetapi amat jarang ada Penulis atau Wartawan yang hidup dalam berkecukupan,kalau hanya mengandalkan hidup dari penghasilan sebagai Penulis.Â
Karena itu bila seorang pria melamar seorang gadis dan memperkenalkan diri sebagai Penulis maka yakin calon Mertua akan mikir dulu seribu kali sebelum mengizinkan puterinya hidup sengsara dengan seorang Penulis.
Gambaran secara umum terhadap Penulis ,apakah ia seorang Wartawan atau Penulis yang mengisi rubrik di salah satu media maupun majalah adalah sosok yang tampil tidak rapi.
Mengendarai sepeda motor butut dan kerja dari pagi hingga larut malam. Makan siang diwarung bawah tenda ,kalau lagi dapat honor dan bila kantong lagi kosong,makan siang cukup diisi sepotong ubi rebus atau pisang goreng.Â
Inilah gambaran umum tentang Penulis dimasa lalu. Nama saya sempat tercantum  sebagai Staf Redaksi di Majalah Beringin Nusantara ,tanpa gaji ,hanya karena sebagai penghargaan bagi saya karena ikut menjadi Kontributor bagi majalah ini. Karena itu ,saya berani bercerita,bahwa Penulis dimasa lalu dapat dikatakan kere. Pada waktu itu,maka ada yang namanya Kopdar sambil makan bersama.
Kopdar paling sambil minum kopi pahit. Menjadi Penulis dimasa tersebut adalah sebuah pengabdian. Pengabdian terhadap keluarga dan sekaligus pengabdian terhadap nusa dan bangsa,walaupun harus menjalani hidup yang dibawah standard.
Perubahan Zaman Membawa Perubahan Stigma Terhadap PenulisÂ
Setelah zaman berubah,maka stigma yang berbau negatif terhadap Penulis mulai berubah. Sebagai contoh,saya mengantarkan naskah ke PT Elekmedia Komputindo dengan mengemudikan kendaraan pribadi.