Saya merasakan patahan bambu masuk dari paha hingga kebatas perut dan terbanting ketanah. Sahabat saya Herman berlari mendatangi . Saya bilang "Herman, tolong cabutkan bambu yang nancap agar saya bisa berdiri." Tapi begitu menyaksikan bambu menancap kepaha saya, wajah Herman pucat dan tetiba ia tumbang dan pingsan.Â
Orang orang kampung yang mengelilingi, bingung  dan saat saya minta tolong untuk mencabut bambu dipaha saya tidak ada yang berani. Karena itu saya bilang "Pak. tolong saja teman saya ini."Â
Maka sibuklah mereka memijat mijat tubuh Herman dan syukurlah beberapa saat kemudian Herman siuman dan diberikan minuman teh hangat . Saya juga diberikan secangkir teh hangat .
Saya berdiri perlahan lahan dan kemudian dengan menahan rasa sakit, saya mencabut bambu yang menancap dipaha saya. Untuk mencegah agar jangan sampai darahnya mengalir terus,saya sobek baju kaos dalam saya dan mengikatnya kuat kuat. Dan kami masih harus naik sepeda untuk ke rumah sakit di Padang. Karena pada waktu itu,belum ada puskesmas.Â
Bekas Luka Menjadi Peringatan Abadi
Hingga kini, 60 tahun sudah berlalu tapi bekasnya sudah menjadi abadi di paha saya sepanjang lebih dari 10 centimeter. Menjadi alaram bagi saya agar bila mendapatkan pujian orang jangan sampai lupa diri.Â
Tapi setelah menikah, hobi menembak saya hentikan secara total dan senapan angin saya hadiakan pada adik ipar saya sebelum pindah ke Jakarta.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi yang membaca agar mawas diri dalam menerima pujian dan sanjungan. Jangan sampai terjadi seperti yang saya alami
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H