Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hindari "Single Planning", Karena Tidak Ada yang Pasti dalam Hidup

20 Desember 2018   20:56 Diperbarui: 25 Desember 2018   18:59 2124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : pixabay

Dalam sebuah perusahaan selalu ada planning atau perencanaan dari pimpinan perusahaan, umumnya dan mendasar berupa penetapan pencapaian oleh perusahaan dan bagaimana strategi untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. 

Planning atau perencanaan perlu ditata sedemikian cermat dan teliti, karena kekeliruan dalam membuat rencana dapat mengakibatkan hancurnya sebuah perusahaan. 

Karena  tidak seorangpun tahu apa yang akan terjadi kelak, maka sejak awal seorang pemimpin perusahaan setidaknya sudah merancang  minimal  2 perencanaan: Seandainya rencana A mengalami kegagalan maka akan segera beralih ke perencanaan B.

Plan A dan Plan B --kalau perlu memiliki Plan C-- ini sudah harus sudah dimiliki seorang pemimpin untuk membawa 'mobil' perusahaannya. Sebab, apabila seseorang pemimpin atau sebuah perusahaan hanya memiliki satu rencana atau single planning, maka bisa berdampak fatal.

Terlalu percaya diri menyebabkan orang secara gegabah mengambil risiko dengan menerapkan "Single Planning" atau Perencanaan tunggal. Salah seorang yang sudah menjadi korban adalah sahabat baik kami. 

Ia begitu antusias dan yakin diri telah menanamkan seluruh modalnya bahkan depositonya dicairkan akibat tergoda membeli saham.

Sebagai seorang sahabat, saya sejak awal sudah mengingatkan bahwa risikonya terlalu besar. 

Namun, walaupun sahabat, tentu kita tidak berhak mengintervensi terlalu jauh dalam keputusan bisnis yang telah dipikirkan secara matang oleh dia.

Tidak sampai satu tahun harga saham anjlok. Namun sahabat kami masih yakin bahwa harga saham yang dibelikan akan segera membaik.

Akan tetapi tahun demi tahun selanjutnya merupakan masa penantian yang sia-sia belaka.

Yang lebih parahnya deposito yang sudah sejak awal sudah disepakati bersama istrinya akan dijadikan cadangan buat hari tua ikut dicairkan tanpa sepengetahuan istrinya.

Akibatnya, sudah dapat dibayangkan: modal ludas dan rumah tangga berantakan.

Terkadang yang terjadi sama sekali di luar dugaan

Sebagaimana orang lain maka saya dan istri juga sudah merancang untuk masa tua kami, yakni ingin menikmati hidup di perkebunan, di mana ada kolam mancing dan aneka ragam pohon buah-buahan.

Untuk membuktikan bahwa kami sungguh-sungguh serius dengan rancangan ini, maka kami sudah membeli tanah di Kinali, Pasaman.

Bahkan sudah ditanami dengan ratusan pohon kelapa. Dengan angan-angan, kelak, kalau anak-anak sudah berkeluarga maka kami akan membangun Vila di tanah kami yang dikelilingi dengan beragam pohon buah-buahan.

Ternyata, seperti kata pribahasa, manusia boleh saja membuat rencana yang muluk-muluk namun tidak dapat memastikan bahwa semuanya akan terwujud.

Ketika putra-putri kami sudah menikah, mereka tidak lagi tinggal di Padang.

Maka kami jadi terpikir, mau apa kami tinggal berdua di perkebunan, sedangkan anak cucu tidak berada di kota Padang?

Maka rencana yang sudah kami rancang secara matang tersebut menjadi buyar. Dan hingga kini tanah tersebut, yang kami pegang hanya Sertifikat Hak Milik.

Sedangkan seperti apa kondisi tanah tersebut, sudah belasana tahun tidak pernah kami datangi lagi.

Masih syukur kami belum membangun Vila di sana, sehingga deposito sebagai jaminan hari tua kami masih utuh.

Kami tidak dapat membayangkan seandainya kami sudah terlanjur menghabiskan seluruh simpanan untuk membangun Vila sedangkan kami ternyata tinggal di Australia.

Karena pada waktu itu kami dihadapkan pada pilihan, mewujudkan impian berarti kemungkinan besar cucu-cucu kami kelak tidak akan mengenal kami lagi karena sebagian lahirnya di Australia.

Maka kami memilih menguburkan impian pertama dan menetap di Australia.

Jangan bayangkan pensiun adalah duduk  di kursi goyang

Sehebat apapun diri seseorang tidak mungkin bisa terus bekerja sepanjang hayat, karena suatu waktu akan memasuki masa pensiun.

Banyak orang yang mengira bahwa pensiun itu adalah menghabiskan hari demi hari dengan duduk di kursi goyang.

Padahal pensiun dimaksudkan adalah tidak lagi aktif bekerja secara fisik namun passive income tetap harus berjalan.

Hal ini untuk menghindari jangan sampai ketika menua hidup kita menjadi beban anak cucu. 

Kalau ternyata seperti yang kami alami, anak-anak sangat peduli pada kami sehingga selalu mentransferkan dana tanpa pernah sekali juga diminta, maka hal tersebut adalah sebuah berkat yang luar biasa.

Tapi tidak semua orang seberuntung kami karena banyak teman-teman semasa muda ketika menua harus hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Mau menyesal semuanya sudah terlambat.

Karenanya itulah pentingnya untuk memiliki beberapa perencanaan. Tidak hanya memiliki single planning, apalagi menitikberatkannya.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun