Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hanya Sampah dan Bangkai yang Hanyut Mengikuti Arus!

21 November 2018   20:21 Diperbarui: 21 November 2018   20:28 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pelajaran Hidup Yang Tidak Pernah Basi

Yang bisa basi adalah sisa sisa makanan yang  tidak dirawat atau disimpan dilemari pendingin.Sedangkan pelajaran hidup tidak pernah akan basi. Silakan menyimak pelajaran sejarah, tentang perjuangan para Pahlawan kita,melawan penjajah. Demi agar kita bisa hidup dalam kemerdekaan,para Pahlawan rela kehilangan nyawa.

Hal ini telah kita baca sejak duduk dibangku SD ,berpuluh puluh tahun lalu.namun setiap kali membacanya,sama sekali kita tidak merasakan sebagai suatu hal yang sudah basi. Karena penderitaan dan pengorbanan para Pahlawan kita,menjadi pengingat bagi kita dan generasi muda,agar jangan sampai menodai arti dan makna kemerdekaan,karena diperoleh bukan sebagai hadiah,melainkan direbut dengan menumpahkan darah para Pahlawan bangsa.

Kembali Ketopik Tulisan

Cukup banyak orang yang bila ditanya ,apa kabar ? Jawaban yang diberikan adalah :" Ya ,beginilah,saya menjalani hidup bagaikan air mengalir " Hidup mengikuti arus,karena tidak ingin repot repot..Saya dulu juga berpikir demikian,hidup sudah cukup susah,mengapa dibuat semakin susah? Kalau ada cara yang membuat hidup menjadi mudah,mengapa tidak?

Namun,cara sesat berpikir demikian,mendadak berubah total,setelah saya mendapatkan nasihat dari seorang laki laki tua,semasa saya bekerja di salah satu pabrik karet di pinggiran kota Medan. Sesungguhnya cuplikan perjalanan hidup saya ini,sudah lama berlalu,namun belakangan ini,semakin sering membaca berita tentang para koruptor yang tertangkap basah oleh KPK.

Dan yang lebih memperihatinkan, kalau dulu image yang terbentuk adalah bahwa kaum wanita lebih dapat dipercaya dalam hal memegang keuangan.. Karena dimasa dulu,amat jarang terdengar ada petugas wanita yang korupsi atau minta uang salam tempel.

Tetapi, belakangan ini,seakan: "profesi" sebagai  Koruptor bukan lagi dianggap suatu hal yang hina,malah tampak dibanggakan.Buktinya, rata rata Pejabat yang tertangkap karena korupsi,dengan senyum manis dan melambaikan tangan berpose didepan camera.Tak ubahnya bagaikan bintang sinetron,yang lagi in action.

Karena itu,saya menuliskan kembali kisah lama ini, dengan harapan akan ada manfaatnya,bagi generasi muda. Karena yang sudah terlanjur tua dengan pola pikir,:" Kalau ada cara gampang untuk kaya,mengapa harus ditolak?" sudah tidak ada harapan lagi untuk mengubahnya, Yang tersisa adalah harapan,agar generasi muda bangsa ,dapat diberikan kesadaran ,akan makna martabat dan harkat diri

 Kita Bukan Sampah dan Juga Bukan Bangkai                     

Setelah hampir dua tahun bekerja sebagai kuli di gudang pabrik karet dipinggiran kota Medan, tiba-tiba saja saya dipromosikan menjadi Juru Timbang di pabrik karet  tersebut. Tugas saya adalah menimbang barang masuk dan menerbitkan nota  timbangkan yang akan dibayar oleh Kasir Perusahaan.

Sebuah kepercayaan  yang awalnya tidak berani saya impikan, karena jabatan ini adalah jabatan paling "basah" di perusahaan mana pun. Mengapa Boss besar percaya kepada saya,padahal ada karyawan yang jauh lebih senior dan sudah puluhan tahun bekerja disana ?Saya sungguh tidak tahu jawabannya.

Hari pertama saya mulai bertugas, pagi sekali, pak Yunus, Mandor yang  sudah bertugas di sana puluhan tahun, mengajak saya ke  pinggir sungai. Sesungguhnya saya  sangat heran, , apa yang sesungguhnya ingin dikatakannya? Rasanya saya tidak ada berbuat kesalahan.Maka dengan pikiran yang menyimpan tanda tanya,saya mengikuti langkah pak Yunus,yang sudah berusia sekitar 60 tahun

Tiba di Jembatan 

Hanya berjalan sekitar 5menit,kami tiba  di  atas jembatan,yang dibawahnya ada air yang mengalir dengan deras. Kami  berhenti. Pak Yunus menatap saya dalam dalam. dan bertanya,:" Apakah kau tampak apa yang hanyut di bawa sana?"Hanya dengan menengok sekilas,saya memperhatikan arah jari tangan Pak Yunus menunjuk dan saya menjawab :" Sampah dan bangkai pak "

"Nah,kau sudah tengok, yang hanyur mengikuti arus adalah sampah dan bangkai . Ingat,kau bukan sampah dan bangkai, mengerti! "kata pak Yunus dengan suaranya khas Batak. Saya manggut manggut,walaupun belum mengerti kemana arah pembicaraan pak Yunus.Tapi saya diam dan menunggu,penjelasan selanjutnya.

Selang dua tiga detik, Pak Yunua sudah melanjutkan, "Aku tahu kau  orang jujur ,makanya Boss menempatkan kau dibagian "Timbangan". Kau  kuajak ke sini untuk mengingatkan. Dan aku tidak akan mengulangi untuk  kedua kalinya," katanya bersungguh-sungguh. Merinding juga saya  dibuatnya.

Tapi, saya dapat menangkap maksud baiknya, yakni disini akan  banyak godaan.dan bila saya tergoda,maka harga diri saya sama dengan sampah atau bangkai ayam. Kedengarannya nasihat yang amat kasar,tapi begitulah gaya pak Yunus berbicara

Ujian Hidup Itupun Tiba

Tidak  perlu menunggu lama. ternyata selang beberapa hari kemudian, salah seorang pedagang karet,mengajak saya kesatu sudut dan kemudian, menyerahkan sebuah bungkusan yang cukup tebal. Dengan perasaan heran,saya buka bungkusan tersebut,ternyata isinya segepok uang.

Masih dalam kondisi terpana,sang Jurangan Karet berbisik ketelinga saya:" Itu untuk kau Aseng .jumlahnya 10 kali gaji kau. Tugas kau cuma mengubah angka jumlah berat barang  2.421 Kg menjadi 4.221 Kg. Cuma itu "

Sempat dalam beberapa detik,pikiran saya terbayang istri saya yang kurus dan pucat,namun dengan  setia mendampingi saya tinggal di pemondokan buruh dipinggiran hutan. Tapi tiba tiba saya tersentak,terbayang suara pak Yunus :" Kau bukan sampah " Saya tersentak,bagaikan terbangun dari mimpi buruk.

Benar saya miskin,tapi bukan sampah ,apalagi bangkai . Tiba tiba ,saya ingat ketika mencuri sepotong bambu tetangga dikala usia 9 tahun.

Ayah saya sangat berang dan mengatakan :" Kita memang miskin, tapi kita bukan  keluarga maling, mengerti!" Tubuh saya bergetar dan keringat dingin mengalir dikening saya. Hampir saja saya masuk kejurang dan menjadi sampah.

Cepat Cepat saya kembalikan bungkusan uang tersebut kepada orang yang memberikan .Jurangan Karet tersebut sangat berang dan berkata: "Belagu kau, Mau belagak jadi orang jujur, jadi kulilah kau seumur hidup" sumpah serapahnya kepada saya. Saya tidak mau melanjutkan pembicaraan lagi dan segera melanjutkan pekerjaan saya. Dalam hati saya bersyukur ada pak Yunus yang mengingatkan, sehingga saya tidak jadi sampah, karena mengikuti arus

11 Tahun Kemudian

Kelak, 11 tahun kemudian,setelah kami pulang kampung dan nasib kami berubah dan saya sudah menjadi seorang Pengusaha  di kota Padang, saya mengemudikan kendaraan dan membawa anak istri untuk melakukan Nostalgia, serta sekaligus membesuk pak Yunus.  Itulah perjumpaan kami yang terakhir. Namun nasihat dari Pak Yunus,saya jadikan tugu peringatan didalam hati .Seirama dengan nasihat ayah saya alm.:"Kita boleh miskin,tapi kita bukan maling!"

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun