Perjalanan dari Persepolis/Syiraz menuju Yazd disebelah timur bersimpang jalan dengan arah ke Isfahan. Perjalanan panjang yang menghabiskan waktu 5 jam lebih, membelah gurun pasir dan teriknya sinar mentari.
Mobil melaju dengan kecepatan 130km/jam tanpa pembatas kecepatan, hanya kemampuan mesin dengan beban penuh dan aircondition yang membatasinya.
Tiba-tiba separuh kepala mobil lain sudah nongol di spion kiri dan sedikit memprovokasi untuk mendahului, sepertinya ini tipe kecepatan pengendara yang tidak dicover asuransi. Oleh karena masih membutuhkan beberapa truk untuk didahului terpaksa lampu sign-kiri dinyalakan beberapa saat sampai beralih ke jalur yang lebih lambat dengan lampu sign-kanan.
Mobil dibelakang mendahului dengan kecepatan tinggi meninggalkan sedikit senyuman. Tidak lazim bagi sesama pengendara berkomunikasi dengan isyarat disini, oleh karenanya pengendara wanita yang melaju tersebut sedikit terkesan dengan meninggalkan senyum tersungging. Walaupun kita juga terkesan dengannya ternyata wanita di Iran tidak semua menutup rapat rambutnya.
Kalau dikita ada istilah tipe pengendara seperti sopir bajaj dalam artian hanya dia dan tuhan yang tahu kemana akan berbelok. Disini pengendara seperti layaknya olahraga catur, seakan semua orang tahu kemana lawannya akan berbelok, karena tidak ada yang merasa memiliki jalurnya. Philosophi yang digunakan seperti pemain bola, setiap orang boleh mengambil jalan/jalur mana saja dan aturannya hanya satu yaitu tidak boleh melanggar.
Karakter pengendara Iran, seperti karakter orang Jepang berjalan kaki, fokus dan terburu-buru saat di eskalatorpun orang Jepang tetap berjalan. Begitu juga pengendara Iran selalu terburu-buru, umumnya mereka berkarakter line-changer, mereka tidak pernah tetap berada pada satu jalur sehingga kita bisa saja disalip dari sebelah kiri maupun dari sebelah kanan.
Satu-satunya tantangan perjalanan membelah gurun ini adalah melawan diri sendiri, terkadang dalam perjalanan yang monoton ini rasa kantuk kerap datang menyerang. Ketika serangan itu datang tidak ada yang dapat dilakukan kecuali melipir kebahu jalan untuk memejamkan mata sejenak.
Menjelang tengah hari, kami sampai di Yazd kota beriklim gurun yang dituju. Tujuan utama kekota ini disamping ingin merasakan suasana gurun adalah mengunjungi teknologi AC (Air Condition) alam yang dikembangkan masyarakat gurun sejak lima ribuan tahun lalu.
Yazd tercatat dalam daftar UNESCO sebagai kota bersejarah dan dikenal dengan sebutan "City of Wind-Catchers". dimana rumah, pasar dan bangunannya didisain dengan menara tinggi menjulang keatas bertujuan untuk menangkap angin yang kemudian disirkulasikan ke bawah.
Kami sampai di "Amir Chakhmag Complex" yang merupakan komplek bangunan tua yang terdiri dari pasar, restoran, museum dan masjid. Dari sini sudah banyak terlihat rumah-rumah yang mempunyai menara-menara penangkap angin dan bangunan atap jenis kubah dengan lubang besar diatasnya.
Dalam teriknya matahari siang, sangat sulit mencari sudut yang baik untuk pengambilan fotographi dan dokumentasi. Akhir semangat yang tadinya mengebu terdistraksi oleh rasa lapar yang menyerang. Karena suasan masih bulan Ramadhan, banyak restoran yang masih tutup dan biasanya mereka mulai buka sore harinya. Setelah berkeliling beberapa restoran akhirnya kami memutuskan untuk mencari hotel yang tentunya selalu mempunyai restoran didalamnya.
Setelah keluar masuk gang diantara bangunan yang dilapisi dinding terbuat dari lumpur, akhirnya kami menemui "Vali Traditional Hotel", nama hotel yang harus diingat karena disinilah banyak keajaiban dimulai.
Berbeda pada bangunan rumah pada umumnya yang dibangun menjulang atau bertingkat ke atas, di Yazd ini bangunan menjulang ke bawah. Kami dibawa dua lantai kebawah menuju tempat makan yang berupa bale-bale untuk duduk lesehan disusun mengelilingi sebuah kolam.
Untuk negeri beriklim gurun, sebuah kolam adalah ungkapan kemewahan. Disinilah menu utama yang dipesan tersajikan tentunya tidak jauh dari nasi dan ayam sesuai selera nusantara.
Ternyata restoran ini bukanlah bagian terbawah dari bangunan, ketika menuju toilet atau dapurnya kita akan turun satu lantai lagi. Ketika selesai makan, pemilik hotel menawarkan apakah kami berminat melihat-lihat ruang bawah.
Turun lagi ke mbawah sekitar tiga lantai dan setiap lantainya berisi ruangan untuk bersantai atau ngadem dimusim panas dan akhirnya lantai dasar berupa ruang duduk yang ditengahnya mengalir air yang jernih. Ditengah-tengah ruangan terlihat sinar matahari menerobos masuk melalui menara penangkap angin.
Kalau kita sedikit ingin tahu, kira-kira dari mana air itu mengalir dan kemana air itu mengalir. Ternyata sistim pendingin alam ini juga termasuk teknologi terkemuka temuan Persia sejak jaman kerajaan Archaemenid pada 7 abad sebelum masehi dan dicatat oleh UNESCO sebagai peninggalan sejarah.
Kalau di Bali kita mengenal istilah "Subak" sebagai sistim irigasi sawah bertingkat dan di bumi Persia ini mereka mengenal sistim irigasi "Qanat" yang mengairi rumah-rumah dan bangunan dari sumber air sejauh 6 km yang digali menembus bukit batu dengan lebar 1 meter persegi.
Di Iran ada tercatat 363.000 Qanat yang tersebar keseluruh negeri yang kalau ditotal panjangnya sebanyak 9 kali lebih panjang equator bumi atau hampir sama panjang jarak dari bumi ke bulan. Sumur Qanat terdalam adalah 300 meter di Gonabad provinsi Khorasan dan bisa dibandingkan dengan dalamnya Danau Toba yang 400 meter.
Wind-Cathers dan Qanat merupakan teknologi temuan Persia yang menjadi saksi kemajuannya dimasa lalu. Jika saja perjalanan ini hanya menyaksikan teknologi tinggi ini mungkin sudah melebihi dari yang diharapkan. Sebelum melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya, kami bermaksud mampir ke Zoroaster Fire Temple tempat agama utama Persia terdahulu, agamanya sahabat Salman al Farisi ra.
Yazd dari dulu adalah tempat berkembangnya berbagai agama. Kabarnya banyak Yahudi di Israel seperti Ariel Sharon juga berasal dari Yazd. Yazd berarti kota suci dalam agama Zoroaster yang sudah berkembang seribu lima tahun sebelum masehi dan menjadi agama utama kerajaan-kerajaan di Persia secara turun temurun.
Orang-orang Eropa menyebut agama Zoroaster dengan Zarathustra. Philosof Jerman Fredrich Nietsche sangat terinspirasi dengan agama ini dan menggunakanya sebagai kritiknya kepada agamawan yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik pada saat itu dengan menulis novel dengan judul "Also Sprach Zarathustra" yang berarti maka berbicaralah Zarathustra.
Layaknya saat ini para agamawan membodohi penganutnya dengan menjual agama seolah-olah merekalah tuhannya. Nietsche membunuh tuhan para agamawan dan melahirkan tuhan yang baru.
Layaknya pemahaman kita terhadap agama Zoroaster sebagai penyembah api. Dengan pemahaman yang dangkal itu maka bisa saja seorang muslim diartikan sebagai orang yang menyembah batu/ka'bah. Zoroaster adalah ajaran dengan syarat makna, sebenarnya mereka bukan menyembah api melainkan bagian dari ritual itu sendiri untuk menyalakannya sebagai sumber cahaya yang membawa kepada petunjuk dan kebenaran.
Lambang Zoroaster sendiri adalah seorang pendeta dengan tangan keatas berdoa dan bersyukur kepada tuhan dengan tangan kanan memegang cincin besar sebagai lambang kesetian dan menepati janji. Sayap yang membentang kiri dan kanan melambangkan perbuatan baik yang akan menerbangkan keatas. Bulu ekor melambangkan perbuatan buruk, semakin banyak akan semakin menyulitkannya untuk terbang.
Sepertinya lambang ini menginspirasi negara-negara seperti Jerman, Rusia, Polandia menggunakan gambar burung ini sebagai simbol negara. Dikita ada lambang burung Garuda yang mempunyai makna disetiap bulu sayap, kaki dan ekornya walaupun tidak sesarat simbol yang ada pada lambang Zoroaster akan tapi didada kita punya Pancasila dan pita Bhineka Tungal Ika yang menandinginya.
Sebagian ulama besar disini percaya bahwa Zoroaster adalah salah satu Nabi yang mengajarkan ketauhidan sehingga mereka juga termasuk dalam ahlul-kitab yang halal untuk dinikahi dan halal memakan makanannya.
Perjalanan ini seakan menjadi begitu istimewa ketika menjadikan napak tilas asal-usul sahabat Salman al Farisi yang bertransformasi dari penjaga api yang setia menjadi pengikut dan pecinta keluarga Nabi saw yang setia.
Ketika matahari masih bersinar terik, kami sudah dalam perjalanan menuju Isfahan.
bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H