perempuan itu sungguh tak pernah serahkan hidup pada: cinta
sebab  tak pernah memiliki atau diberi pilihan.sejak betisnya menyala warna kencana
dan para pujangga serta segenap penujum dengan takjub  mulutnya menganga
meremas-remas pelir sendiri serta merta menunjuk-nunjuk keningmu
; ada taksu bertengger di sana.
perempuan itu hanya menjalani riwayat takdir yang asing
saat dibawa ke sebuah kota yang pekat bersama budak dan sapi-sapi.
kota dengan pagar berbatu di tengah-tengahnya berserak kuil
berpancang lingga berbola-bola besi mendongak tegak menantang langit
mengancam lubang  selangkang
kuil-kuil kaca menjadi tempat berdiam menyisir rambut dan memulas bibir sewarna rahimmu!
maka, jadilah kau penunggu kota seperti duyung penjaga pantai
takdir akan menjadikanmu dicintai berkali-kali, tak boleh engkau berpikir tentang tresna
 apalagi cemburu sebab engkau tak diperbolehkan memilih keberuntungan atau kutukan.
segalanya akan engkau tulis di atas ranjang-ranjang bermahkota
tak pernah berupa syair cinta, namun selalu rintih lirih mengerang
kabut kenangan, ranjang kayu dan serpihan kelambu masa lalu
lihatlah telapak tanganmu, perempuan
garis tangamnu tak dibolehkan menuliskan segala kesedihan dan sakit hati
engkau hanya akan dipinang oleh waktu
 : tubuhmu yang bergelombang adalah sejarah perang
begitulah, takdirmu. diam-diam engkau harapkan cinta
yang sanggup membawamu melompat dari ceruk paling curam
namun sejauh engkau melompat anak-anakmu telah dikutuk
: berhati batu!
(engkau menangisinya saban malam; padahal kutuk itu telah riwayatkan
daratan-daratan yang kelak  ditaklukkan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H