Mohon tunggu...
Tjahja Nurrobi
Tjahja Nurrobi Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Orthopedi dan Traumatologi, Pemerhati Masalah Kesehatan

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Pertahanan Bidang Manajemen Bencana dan Ilmu Kedokteran Militer

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Vaksin Covid-19, Dapatkah Menjaga Kekebalan terhadap Covid-19 Selamanya?

30 September 2020   02:41 Diperbarui: 30 September 2020   02:45 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tjahja Nurrobi, dr, M.Kes, Sp.OT (K)

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Pertahanan

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 telah berlangsung selama kurang lebih 9 bulan, namun belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir. Justru di beberapa negara termasuk di Indonesia menunjukkan pola grafik peningkatan jumlah kasus. 

Dilain pihak, pemerintah telah menyiapkan vaksin yang saat ini sedang diuji secara klinis. Dengan adanya vaksin tersebut, diharapkan akan terjadi kekebalan yang didapat (acqured immunity) terhadap Covid-19. 

Pertanyaan selanjutnya adalah berapa lama orang yang sudah memiliki kekebalan yang didapat terhadap SARS-CoV-2 dapat melindungi terjadinya infeksi ulang (reinfeksi). 

Tentu harapannya adalah bahwa kekebalan yang didapat baik dari infeksi alami ataupun dari vaksin dapat bertahan selama mungkin. Namun sepertinya data menunjukkan bahwa kekebalan tersebut tidak akan bertahan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Metode Penelitian

Dua buah studi retrospektif (Edridge, 2020) bisa melihat data jangka panjang tentang adanya reinfeksi penyakit yang disebabkan oleh family virus korona lainnya, termasuk influensa, SARS atau MERS. 

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati perilaku family virus korona lainnya, sehingga kemudian dapat diprediksi perilaku virus SARS-CoV-2.

Sebelum ditemukannya SARS-CoV-2, enam virus corona diketahui dapat menginfeksi manusia. Empat virus korona menjadi penyebab penyakit pernapasan yang relatif jinak yang secara teratur bersirkulasi menyebabkan kondisi yang kita kenal sebagai influensa. 

Sedang dua lainnya lebih berbahaya namun jumlah kasusnya tidak banyak, yaitu SARS-CoV-1, virus yang bertanggung jawab atas wabah Severe Acut Respiratory Sindroma (SARS) pada tahun 2004; dan MERS-CoV, virus yang menyebabkan Middle East Respiratory Sindroma (MERS).

Hasil Penelitian

Studi pertama, yang sudah diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine, menyatakan bahwa para peneliti memeriksa sampel darah terhadap 10 orang yang sejak tahun 1980-an mengalami infeksi dan reinfeksi terhadap empat jenis virus korona lain. 

Ternyata hasilnya menunjukkan bahwa kekebalan terhadap family virus korona lainnya cenderung memiliki durasi yang pendek, dengan reinfeksi cukup sering terjadi, yaitu sekitar 12 bulan, bahkan dalam beberapa kasus, bisa ditemukan lebih cepat.

Dalam studi lain yang dipimpin oleh Lia van der Hoek, di Universitas Amsterdam, Belanda, mereka berupaya mengamati adanya reinfeksi terhadap empat virus korona yang umum, yaitu HCoV-NL63, HCoV-229E, HCoV-OC43, dan HCoV- HKU1. Kesulitan yang dihadapi pada penelitian ini adalah, seperti halnya SARS-CoV-2, dimana gejala tidak selalu mudah untuk dilacak (OTG). 

Penelitian ini melihat sampel darah dari 10 orang sehat yang terdaftar selama beberapa dekade di Amsterdam Cohort Studies on HIV-1 Infection and AIDS. Untuk mendeteksi infeksi ulang virus korona, mereka mengukur peningkatan antibodi terhadap bagian tertentu dari nukleokapsid setiap virus corona. 

Nukleokapsid adalah cangkang protein yang merangkum materi genetik virus corona dan berfungsi sebagai target penting untuk antibodi. Peningkatan antibodi yang menargetkan nukleokapsid menunjukkan bahwa seseorang sedang melawan infeksi baru terhadap salah satu dari empat virus korona tersebut. 

Secara keseluruhan, para peneliti memeriksa total 513 sampel darah yang dikumpulkan secara berkala setiap 3 hingga 6 bulan. Dalam sampel tersebut, analisis tim menemukan 3 hingga 17 infeksi virus korona per peserta penelitian selama lebih dari 35 tahun. Reinfeksi terjadi setiap 6 sampai 105 bulan. Namun reinfeksi yang paling sering terjadi adalah pada sekitar satu tahun setelah infeksi sebelumnya. 

Tidak mengherankan, mereka juga menemukan bahwa sampel darah yang dikumpulkan di Belanda selama musim panas — Juni, Juli, Agustus, dan September — memiliki tingkat infeksi terendah untuk keempat virus korona musiman, yang menunjukkan frekuensi infeksi yang lebih tinggi di musim dingin di negara beriklim sedang. Meskipun masih harus dilihat, ada kemungkinan SARS-CoV-2 pada akhirnya dapat berbagi pola musiman yang sama setelah pandemi.

Analisa

Kedua temuan ini menunjukkan bahwa reinfeksi tahunan adalah kejadian umum untuk semua virus korona umum lainnya. Hal tersebut konsisten dengan bukti bahwa antibodi terhadap SARS-CoV-2 menurun dalam dua bulan setelah infeksi (Ibarrondo, 2020). Hal ini juga yang menunjukkan bahwa pola reinfeksi yang serupa mungkin muncul untuk SARS-CoV-2 dalam beberapa bulan atau tahun mendatang.

Kelemahan Penelitian

Setidaknya ada empat kelemahan dalam penelitian ini. Pertama, para peneliti melacak tingkat antibodi tetapi tidak memiliki akses ke informasi tentang penyakit yang sebenarnya. 

Ada kemungkinan bahwa peningkatan antibodi terhadap virus korona tertentu mungkin telah memberikan respons yang tepat yang dibutuhkan untuk mengubah penyakit pernapasan yang signifikan menjadi kasus pilek ringan atau tidak ada penyakit sama sekali. 

Kedua, kekebalan yang berkelanjutan terhadap virus akan selalu terganggu jika virus mengalami perubahan mutasi. Sejauh mana hal itu mungkin telah berkontribusi pada reinfeksi tidak diketahui secara jelas. 

Ketiga, peran kekebalan seluler dalam melawan infeksi virus korona yang biasanya cenderung signifikan tidak dipelajari dalam analisis retrospektif ini. 

Dan keempat, penelitian ini dilaksanakan di negara yang beriklim sedang, sehingga untuk negara yang beriklim tropis seperti Indonesia dimana tidak memiliki musim dingin perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah frekuensi infeksi lebih tinggi pada musim penghujan.

Penutup

Terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi Covid-19 pada musim dingin / penghujan ini, penting untuk memahami seberapa besar kemungkinan seseorang yang telah pulih dari penyakit akan terinfeksi kembali dan berpotensi menyebarkan virus ke orang lain.

 Untuk itu diperlukan lebih banyak lagi penelitian untuk membuktikan bahwa kekebalan jangka panjang dapat dicapai melalui infeksi yang didapat secara alami atau vaksinasi. 

Sementara kita menunggu hasil uji klinis vaksin Covid-19, cara terbaik untuk melindungi diri, keluarga, dan komunitas anda adalah dengan mengambil langkah-langkah sederhana yang dapat kita semua lakukan, yaitu menjaga jarak sosial, memakai masker, menghindari kerumunan atau pertemuan dalam ruangan yang ramai, serta mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.

Daftar Pustaka:

1. Edridge (2020). Seasonal coronavirus protective immunity is short-lasting. Edridge AWD, Kaczorowska J, Hoste ACR, Bakker M, Klein M, Loens K, Jebbink MF, Matser A, Kinsella CM, Rueda P, Ieven M, Goossens H, Prins M, Sastre P, Deijs M, van der Hoek L. Nat Med. 2020 Sep 14. doi: 10.1038/s41591-020-1083-1.

2. Ibarrondo (2020). Rapid decay of anti-SARS-CoV-2 antibodies in persons with mild Covid-19. Ibarrondo FJ, Fulcher JA, Goodman-Meza D, Elliott J, Hofmann C, Hausner MA, Ferbas KG, Tobin NH, Aldrovandi GM, Yang OO. N Engl J Med. 2020 Sep. 10;383(11): 1085-1087.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun