“Tapi kasihan juga lah, Mang, presiden kan capek mengurusi semua warganya, harus ada apresiasi lebih lah,”
“Kalau menurut Mang Udin bagaimana?” tanya Acil Ilis mengagetkanku yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan mereka berdua.
“Ah, aku tak punya TV, Lis. Beritanya saja baru aku tahu dari kalian. Memangya bagaimana kisahnya nih?”
“Presiden lagi cari perhatian, Din. Orang rakyatnya masih melarat gini, eh dia curhat masalah gajinya yang tidak naik 7 tahun. Kita orang kecil begini sudah puluhan tahun hidupnya nggak tentram.”
“Aku tak pernah mengurusi orang yang di atas, Di. Tak ngerti,” kelakarku.
“Kau ini bagaimana bisa diperhatikan presiden, kalau cuek begitu. Hahaha…” goda Hadi.
“Aku benar-bear tidak mengerti masalah pemerintah, Di,” belaku,”Lagipula, aku…” kalimatku terpotong oleh suara bel pulang dari dalam sekolah.
“Saatnya menjemput rejeki,” gumamku. Hadi hanya tersenyum melihat tingkahku.
Aku menawarkan jasa becakku pada beberapa anak yang lewat, namun tak ada yang menyangkut. Beberapa memilih naik ojek untuk pulang ke rumah. Sampai kulihat seorang gadis kecil datang mendekat ke arahku.
“Ojek, dek?” tawarku.
Gadis itu hanya tersenyum sambil berlalu. Ternyata dia ingin beli es kelapa Ilis. Ah, rejeki si Ilis pikirku. Biarlah.