Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Behind The Ear

4 November 2020   22:43 Diperbarui: 9 November 2020   08:41 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sad Man Shadow by Shutterstock

Aku terisak dan tersedu di hadapan gadis itu. Dipeluknya tubuhku, saat itu aku teringat kepada pelukan masa kecil dari Ibu. Aku cukup terkesima, mengetahui bahwa gadis itu sama sekali tidak menjauh saat tahu aku berbahaya, malah mendekatkan dirinya dan mendekapku bak bayi kecil saja. Harapanku semakin besar, harapan untuk hidup yang lebih bercahaya. Gadis itu menerima cintaku dan menerima diriku apa adanya.

Waktu berlalu semakin silam, aku dan kekasihku telah lama saling memadu. Dua tahun berlalu. Sore itu dia menutup mataku dan membawaku ke dalam mobil. Dia menyetir mobilnya, entah aku dibawanya kemana. Tangan kirinya yang kecil dan lembut menggenggam sesekali. Kemudian, aku merasakan mobilnya berhenti. Perlahan-lahan aku digandengnya hingga ke suatu tempat yang telah dia persiapkan sebelumnya. Satu... dua... dan tiga. Aku membuka mata. Danau! Aku tersungkur, lututku bagai kehilangan kemampuan tegak.

"Bawa aku pergi dari tempat ini! Bawa aku pergi dari tempat ini!" aku berusaha berdiri dan berlari. Dia menahanku dan tampak cemas kebingungan.

Gadisku telah menghias tempat dimana aku membuang mayat ayah dan ibuku dengan lampu-lampu serta menyiapkan meja makan malam di sana. Benar. Sebuah hal yang belum kukatakan pada kalian, orangtuaku tak menerlantarkan aku. Aku menghabisi mereka setelah tak tahan mendengar kekacauan saat mereka terus-terusan bertengkar. Bisikan di belakang telingaku yang menyuruhku melakukannya. 

Kupukul kepala belakang ayahku dengan tongkat bisbol berkali-kali, saat ibuku berusaha berteriak menghentikanku, aku mengikatnya dan menutup wajahnya dengan bantal tapi tak disangka aku malah membunuhnya juga. Usiaku belasan tahun, aku sangat takut dan tak mengerti akan berbuat apa, akhirnya kubuang mereka di danau dengan karung yang telah kuisi batu sebagai pemberat lalu kutenggelamkan. 

Kukatakan pada semua orang bahwa orangtuaku telah pergi dari rumah ketika dini hari. Aku juga menulis surat pamitan palsu untuk meyakinkan semua orang bila ibuku telah sengaja meninggalkan aku. Itulah mengapa aku benci danau, selama bertahun-tahun aku tak pernah menyambangi genangan air itu lagi.

Kekasihku terdiam. Pergi menenteng sepatu tingginya dengan tatapan hampa yang dibanjiri airmata. Aku tak kuasa melihatnya melangkah pergi, kupikir aku tak akan pernah melihatnya lagi. Demi nama cinta, dosa telah kuakui di hadapannya maka bukan hal baru jika kecewa menjadi kendatinya walaupun cintanya begitu besar pernah menyelamatkan aku dari kelamnya dunia. 

Aku tidak apa-apa bila ditinggalnya, yang utama adalah aku harus kembali kepada Tuhan kali ini. Tuhan telah menghadirkan satu bidadari yang melepaskan aku dari bisikan itu sehingga aku dapat kembali merasakan dunia yang tidak teramat-amat meresahkan. Sekarang saatku menebus dosa. Akan kuserahkan diriku kepada polisi serta mengakui perbuatan keji ini!

Pencarian dua jenazah di danau dilakukan, belulang yang mengenaskan ditemukan. Sontak seluruh warta kota mengabarkanku. Aku mendekam dalam kurungan. Kudekap erat dua kakiku untuk meredakan dinginnya lantai penjara.

Tap... tap... tap...

Suara langkah kaki mendekat. Saat kuangkat wajah, seorang wanita cantik menggandeng anak kecil. Mereka tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun